Mei, 2011
"Duh!"
Gadis remaja itu mengerang kecil seraya mengusap pelan dahinya yang barusan terantuk sesuatu yang keras dan dingin. Sekaleng pociri sweat, mendarat empuk di dahinya.
"Ngelamun aja," ucap seseorang berikutnya, kini ikut mendudukkan diri di bawah pohon, menghadap tepat ke arah lapangan dan gedung sekolah.
"Lo kalo ngasih yang ikhlas dong, kaleng minuman segala dilempar-lempar," keluh gadis itu kemudian.
Sahya, dengan cepat merebut kembali kaleng pociri, nggak mengizinkan Inez—gadis tadi—untuk melanjutkan kerja tangannya untuk membuka minuman ion itu. "Kalo nggak mau ya nggak usah,"
"Nggak ada yang bilang nggak mau," sungutnya, menarik lagi kaleng minuman tadi.
"Lo ngapain di sini?" tanya Sahya merubah topik. "Lo udah nggak ada urusan kan?"
"Masih—eh, udah enggak deng. Tadi habis konsul terakhir sama Bu Hana,"
"Terus? Jadi ambil kedokteran?"
Inez mengangguk pelan, menerawang jauh ke langit biru di atas sana, mengingat-ingat apa yang dikatakan Bu Hana selaku guru pembimbing konseling di sekolah. "Iya. Bu Hana bilang gue masih bisa ngejar kedokteran, tapi nggak di negri deh,"
"Nggak papa. Yang penting kan kedokteran, nurutin Mama lo," balas Sahya, ikut menganggukan kepala, paham. "Jadi ambil Univ X?" lanjutnya, menyebutkan universitas swasta yang terkenal itu, looh.
"Iya, Ayah udah ngamuk, katanya gue musti kudu harus masuk situ, nggak mau jauh-jauh katanya,"
"Mahal nggak sih?"
Kembali Inez mengangguk setuju. Jujur, waktu melihat rentetan angka agar dirinya bisa masuk sana bikin Inez sedikit merinding. Like ... bayangin aja angka 3 digit cuma buat masuk kuliah. Itu pun belum termasuk UKT kedokteran yang terkenal jauh melambung tinggi dibanding jurusan lain, belum lagi tetek bengek pelengkapnya.
"Banget. Gue jadi mikir deh, emang Ayah punya duit sebanyak itu dari mana ya?" gumam Inez pelan.
"Ya bokap lo kan kerja, terbang sana sini, kapten pula, ya nggak heran juga lah kalo punya uang sebanyak itu,"
"Apa ntar gue nikah sama pilot aja ya Yah? Biar hidup gue makmur banyak duitnya," ujar Inez mengawang. "Tapi, Mama udah punya suami pilot masih aja cari yang lain," sambungnya asal diiringi tawa sumbang.
Sahya melirik tipis-tipis ke arah Inez, sementara yang dilirikin masih menatap tenang ke arah langit, sesekali rambutnya yang dikucir berantakan itu melambai tertiup angin.
"Huss, itu kan masih asumsi lo aja," tanggap cowok itu akhirnya.
"Kalo asumsi gue bener gimana?"
"Gimana kalo, Mama beneran punya hubungan lain sama Pak Tino?"
Sial.
Berkali-kali dipikir, Sahya sama sekali nggak menemukan jawaban yang bisa ia berikan pada gadis ini. Situasi kaya gini rasanya jauh di luar kendali Sahya. Nggak pernah kepikiran juga buat ngebayangin ada di posisi Inez.
Meskipun Sahya suka ikut Ibu nonton sinetron perselingkuhan rumah tangga, tetep aja nggak ada bayangan kalo salah satu orang tuanya punya seorang idaman lain. Jelas Sahya mati kutu, otaknya nggak menemukan jawaban.
"Y—ya ... jujur gue nggak bisa kasih jawaban ya," Laki-laki itu terdiam sejenak, kembali berusaha berpikir kalimat selanjutnya, "tapi mungkin lo bisa—"

KAMU SEDANG MEMBACA
TETANGGA - SUNGJIN DAY6
FanfictionMapan, Tampan, Rumah Cicilan. Nggak papa, yang penting atas nama sendiri. - Sahya, 28thn Keseharian Sahya setelah ajuan KPRnya dikabulkan. Sekarang sedang berusaha menyesuaikan diri di lingkungan perumahan. Bismillah, semoga tetangganya nggak suka m...