1.4 : Take Care, and Safe Flight

725 142 23
                                    

April, 2021


Sabtu pagi, itu masih sekitar habis subuh waktu gue masukin motor ke dalam garasi. Langit masih gelap, jadi gue berniat buat lanjut tidur (kalo bisa). Tapi niat itu cuma jadi sekedar niat, waktu dari arah belakang gue liat Inez geret koper keluar rumah.

Enggak, dia nggak kabur kok. Dia cuma mau terbang.

Mengantongi kunci di saku, gue berjalan ke arah rumahnya. Dari jarak sekian meter pun, bau parfumnya Inez udah kecium banget.

Gue kasih tau sesuatu, tapi please jangan bilang Inez ya (eh, bilang juga nggak papa sih, tapi gue males kalo dia besar kepala). Versi terbaik Inez menurut gue adalah, waktu dia lagi pake seragam pramugarinya.

Bukan karena dia rapi, anggun, dan cantik—yaa ini salah satunya sih—tapi karena dia berubah jadi kalem.

SERIUS.

Yang namanya Inez, kalo udah pake seragam dengan name tag Shanaz, orangnya jadi kaya punya alter ego gitu. Nggak ada sejarahnya gue digebukin waktu dia lagi pake seragam. Nada bicaranya juga kaya otomatis kalem, berasa mau landing announcement.

Pokoknya beda banget sama Inez yang kaosan forever tiap lagi nggak terbang.

"Oit,"

"Woy—eh, gue baru inget! Bentar gue masuk,"

Meninggalkan gue yang masih terbengong-bengong di garasi rumahnya, ia sedikit berlari kecil ke dalam rumah. Nggak nyampe satu menit, dia udah balik lagi, menggenggam kotak tupperware warna ungu berukuran sedang. 

"Buat lo,"

"Tumben? Apaan ini?"

"Rendang. Kata Ibuk lo suka,"

"Widiih, tau aja gue pengen," ucap gue, tersenyum.

Serius kok, belakangan ini gue lagi pengen makan rendang karena Ibu dengan kurang ajarnya posting foto rendang di story whatsappnya. Lebih-lebih lagi, gue nggak dibagi. Gini amat jadi anak.

"Eh, tapi bentar deh," gue memicingkan mata, menatap Inez curiga. "Kok lo bisa kontakan sama Ibuk?"

"Ya bisa lah? Gue kan punya HP?"

"Ck, bukan itu,"

"Ya kan kemaren tukeran nomer?"

Denger ucapan Inez barusan, gue mendelik kecil. "Lah buat apa?!"

"Ya apaan sih? Tukeran nomer doang elah,"

"Gue nggak akan menggeser posisi lo dari daftar warisan kok," lanjutnya.

Ya nggak mungkin juga sih, Nez.

"Awas aja lo ngomong aneh-aneh ya,"

"Aneh-aneh kaya ... kaya elo yang nganterin temen kantor lo tempo lalu?"

Wanita itu mengerling usil. Menutupi sebagian wajahnya dengan tangan kanan, ia terkekeh pelan. 

"Bukan gue yang minta tukeran, bener deh. Ibuk yang tiba-tiba ngasih nomernya, kalo lo ada apa-apa, biar gue bisa hubungin beliau secepatnya, ceunah," jelasnya panjang lebar, sementara gue masih melirik curiga.

"Ya tuhan, beneran deh, yah! Percaya sama gue,"

"Masalahnya percaya sama lo, tuhan gue sepuluh, Nez,"

"Banyak amat? Nggak capek nyembahnya?"

Gue udah bersiap mengangkat tangan buat noyor kepalanya Inez, tapi tangan gue buru-buru ditahan, dengan kepalanya yang juga menjauh. "Jangan macem-macem lo, ini rambut kalo berantakan dikit gue males benerin!!!" ancamnya. Gue memutar mata malas.

TETANGGA - SUNGJIN DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang