15. Bunuh Diri

1.1K 122 7
                                    

"Sasuke! Apa yang tadi pelakor itu katakan? Putus? Kalian punya hubungan?" Julukan pelakor sudah Mikoto sematkan pada Hinata. Api kebencian semakin berkobar.

Sasuke menatap ibunya malas. "Kalau iya, memang kenapa?" sahutnya santai tidak peduli akan dimarahi. Dia sudah tidak tahan dengan Mikoto yang suka mengatur kehidupannya.

"Kau mengkhianati Sakura demi gadis murahan seperti dia?! Benar-benar pelakor. Apa yang bisa dibanggakan dari dia? Dia tidak punya asa usul yang jelas juga!" cibir Mikoto.

"Stop, Ma! Selama ini aku udah tahan rasa benci sama mama. Mama selalu urus hidup aku. Enggak memberikan kebebasan sama sekali." Runtuh sudah pertahanan Sasuke.

"Hinata. Dia bukan gadis seperti itu. Dia gadis yang berbeda. Gadis yang sangat jauh lebih baik dari Sakura. Aku mencintainya," aku Sasuke jujur tidak peduli ekspresi keruh Sakura.

"Ini hidup aku. Walaupun mama emang orang yang melahirkan, tapi, mana nggak berhak mengatur hidup aku. Aku bebas menentukan jalan hidup," lanjut Sasuke mencurahkan isi hatinya.

"Aku nggak pernah mencintai Sakura. Dia sama seperti Ino dan Karin, hanya sebatas teman. Tenang aja, aku nggak benci sama mama. Aku cuma kecewa sama mama yang selalu mengatur," ungkap Sasuke.

Mikoto mengatupkan bibirnya rapat. Sakura menatap Sasuke berkaca-kaca. Mendengar pengakuan Sasuke membuat hatinya tertohok nyeri. Hanya sebatas teman tidak lebih, ya?

Fugaku mengangguk membenarkan Sasuke. Walaupun agak tidak suka mendengar pujian berlebihan untuk Hinata. Terdengar aneh di telinga saat putra bungsunya memuji.

"Iya, kau terlalu mengekang Sasuke, Mikoto. Sama seperti Itachi dulu. Dari dulu aku sudah bilang, jangan mengekang seorang anak," tutur Fugaku.

Mikoto merasa tersudut. "Aku bukan mengekang. Aku hanya ingin memilihkan yang terbaik untuk hidup anakku. Semua ibu pasti ingin yang terbaik untuk anaknya," sahutnya.

"Tapi, bukan dengan memanfaatkan rasa hormat seorang anak pada orang tua. Kaa-san tahu kan kalau aku tidak pernah mencintai Izumi dari dulu," sahut Itachi santai.

Izumi terdiam menundukkan kepala. Teringat akan masa lalu. Bagaimana pernikahannya dengan Itachi bisa terjalin karena perjodohan konyol. Lebih tepatnya permintaan Mikoto.

Berawa dari paksaan, lama-lama Itachi sedikit melunak ketika Izuka lahir. Yang nyatanya itu cover semata. Di depan orang saja terlihat sebagai ayah panutan. Di belakang, berbuat kasar pada Izumi.

Kalian pasti tidak menyangka hal itu 'kan? Haha, Izumi juga. Terlalu berharap lebih. Ternyata orang yang dicintai Itachi saat ini adalah Hinata. Gadis yang dianggap sebagai adik sendiri. Plot twist.

"Sakura tetap yang terbaik untuk Sasuke. Mereka akan tetap menikah di masa depan nanti," tukas Mikoto keras kepala. Hatinya memang sekeras batu. Egois ingin menang sendiri. Tidak jauh berbeda dengan Sasuke, sebenarnya.

"Terserah apa kata kaa-san. Aku akan pergi mencari Hinata." Sasuke melengos pergi keluar apartemen. Menghampiri mobil miliknya yang ada di bassement.

Sasuke mengendarai mobilnya menyusuri jalan dengan kecepatan pelan. Matanya mengedar ke sekeliling mencari sosok gadis bersurai indigo.

Sangat lama mengitari Konoha. Akhirnya Sasuke menemukan keberadaan gadis itu berada di dekat jembatan sungai. Tidak sendirian, ada seorang wanita paruh baya tengah memeluknya erat.

Juga sosok tema sebaya yang familier di matanya. Dengan ciri khas mencolok, warna kuning seperti Spongebob. Sasuke urung untuk mendekat, meskipun penasaran apa yang sedang terjadi.

"Hinata, Naruto, dan Bibi Kushina? Mereka ada apa...?"

💜💜💜

"Gue nggak tahu musti gimana. Hidup gue makin lama makin berantakan. Gue benci sama semua orang! Gue benci diri gue sendiri!"

Gadis itu-Hyuga Hinata-masih menyusuri jalanan dengan koper di tangannya. Suasana hatinya sedang kacau sekarang. Berdebat melawan Mikoto dilanjut dengan Hiashi.

"Seandainya gue mati, bakalan ada yang sedih nggak, ya?" gumam Hinata termenung sejenak. Terlintas peikiran untuk bunuh diri, tapi, tiba-tiba wajah Neji, Temari, Lee, Gaara, dan Sasuke bermunculan.

Hinata menggeleng menepis pemikiran dari setan-setan laknat yang merayu. "Enggak! Jangan bodoh, Hinata! Bunuh diri dosanya ditanggung di akhirat nanti."

"Tapi, itu terdengar enggak buruk. Seandainya gue meninggal, dunia nggak akan terpengaruh. Masalah yang terjadi karena gue selesai. Gue juga bisa ketemu kaa-san."

Pikiran Hinata mulai teracuni. Setan laknat yang mengatakan 'iya, bunuh diri saja' seolah kini mendekap jiwanya erat. Mengajak bersama-sama untuk meninggalkan dunia palsu ini.

Matanya berbinar melihat jembatan sungai. Langkahnya terasa mantap mendekat ke tepi jembatan. Sejenak ia menatap arus sungai yang mengalir deras dengan tatapan sulit diartikan.

Bayang-bayang wajah ibunya seolah tergambar menyapa di tengah derasnya aliran sungai. Seolah sedang menyambut kedatangannya. Hinata tersenyum.

Ia meninggalkan kopernya. Kakinya melangkah menaiki pembatas jembatan. Bersiap terjun bebas ke sungai. Kedua tangan dia rentangkan, matanya terpejam erat.

"Cupu!"

Sebelum terjadi, seseorang datang menarik pinggang Hinata. Alhasil, keduanya terjatuh saling berpelukan menciptakan suara retakan kacamata. Untung jalanan sepi. Tidak ada yang melihat dan berpikiran negatif.

"Bego! Lo kalau mau bunuh diri jangan di Konoha. Pergi sana jauh. Lo mau bikin kota ini horor karena ada arwah gentayangan?! Mikir woi!" umpat seseorang itu misuh-misuh.

Hinata mengerjap berusaha mencerna keadaan. Tadi untuk sesaat, pikirannya seolah diambil alih oleh orang lain. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa dia bisa ada di tepi jembatan seperti ini?

"Naruto-chan!" Tidak lama, datang seorang wanita paruh baya bersurai merah menyala nyaris seperti Karin. Ia menatap Hinata tersirat khawatir.

"Kaa-san, tenang saja! Aku berhasil menyelamatkannya! Dia tidak jadi bunuh diri kok," seru Naruto-seseorang itu-mengulas senyum menenangkan.

Uzumaki Kushina-ibu Naruto-menghela napas lega. Lutunya terasa lemas. "Astaga. Syukurlah kalau begitu. Aku tidak bisa membayangkan kalau akan benar-benar bunuh diri."

"Maaf, bibi siapa, ya? Dan memang siapa yang mau bunuh diri?" tanya Hinata memiringkan wajahnya polos. Kushina tidak menjawab. Ia menarik Hinata ke pelukan.

"Kau membuatku syok, nona gadis. Apa yang membuatmu berpikiran untuk bunuh diri? Bunuh diri tidak menyelesaikan masalah. Malah menambah masalah di akhirat nanti," oceh Kushina menceramahi.

"Ugh? Aku? Aku tadi mau melakukan percobaan bunuh diri, bi? Yang benar?" tanya Hinata mengerjap tak percaya apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Benar-benat bodoh!

"Iya, baka!! Seandainya aja kaa-san nggak melihat, lo udah mati," sahut Naruto sewot. Jantungnya berdetak marathon tadi. Walaupun Hinata patut jadi bahan bully, ia tetap punya jiwa kemanusiaan.

Hinata terdiam menatap sungai. Rasa takut mulai menjalar. Tubuhnya bergetar ketakutan. Jiwanya sebagai wanita lemah kembali. Hinata belum mau meninggal. Ia masih mau hidup meraih impiannya sebagai musisi.

Tanpa sadar air matanya mulai menetes berlomba-lomba untuk keluar. Kushina menepuk punggung Hinata berusaha menenangkan.

"Tenang, ada baa-chan di sini."

💜💜💜

HEII KENAPA BELOK NARUHINA 😭 Kapalku lagi oleng ges. Dahal mau munculin Gaara 😭🤣

Pacar Rahasia ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang