23. Dukungan

820 79 3
                                    

“Ibu, bagaimana kabarmu? Apa ayah memperlakukanmu baik?”

Sejak pertemuan beberapa minggu lalu di pasar, kini mereka berdua kembali berkomunikasi baik. Saat ini di akhir pekan Aeri betemu dengan Hinata di Aishiteru Cafe.

Obrolan ringan seputar keluarga ditemani camilan dan minuman segar di pagi hari yang cerah ini.

Aeri tertawa mendengar pertanyaan yang lolos dari bibir anak tirinya. “Iya, tentu baik. Apa kau berpikir negatif tentang ayahmu setelah aku ceritakan semuanya waktu lalu?”

“Aku selalu berpikiran negatif tentang ayah. Terlebih setelah dia mengusirku dari rumah. Padahal semua itu adalah takdir. Aku tidak tahu apa-apa,” Hinata menjawab jujur.

“Ya, aku juga tidak mengerti dengan pemikiran Hiashi. Dia belum bisa memaafkan masa lalu. Setiap kali ingin membelamu, aku terlalu takut,” sahut Aeri mengingat dulu.

Hinata tersenyum simpul. “Ayah memang menakutkan. Aku pikir ibu tidak peduli karena aku anak tiri. Anak dari Hyuga Hikari yang meninggal saat melahirkanku.”

“Hanabi dan kau. Kalian adalah anakku. Aku tidak membedakan kalian,” ucap Aeri walaupun sebenarnya tidak yakin.

“Ngomong-mgomong soal Hanabi, dia masih belum menerimaku. Dia masih saja menganggapku itu musuhnya.” Hinata menunduk sedih.

“Dih, kata siapa gue belum terima? Nggak usah sok tahu! Gue bukan ayah yang menyalahkan takdir terus.”

Aeri dan Hinata tersedak melihat Hanabi yang tiba-tiba saja datang. Hanabi langsung mengambil tempat di hadapan keduanya. Tanpa beban mengambil bento milik Hinata.

“Ini enak sekali. Kenapa kaa-san dan nii-san tidak mengajakku?” oceh Hanabi asik mengunyah. Aeri dan Hinata memandang Hanabi horor. Seolah mereka baru melihat hantu.

Hanabi menaikkan alisnya. “Kenapa? Ada yang aneh denganku?” cetusnya bertanya lugu.

“Ya, sangat aneh!”

Hanabi terkekeh mendengar jawaban keduanya yang kompak. “Percaya atau tidak aku sudah lama menerima kenyataan ini.” Tatapan Hanabi menerawang jauh.

“Awalnya aku pikir ibu melupakan tou-san selama-lamanya. Terlebih yang dinikahi ibu adalah kakak tou-san. Lalu nanti posisiku terganti anaknya yang baru,” cerita Hanabi terkekeh.

“Aku berencana menghancurkan Ayah Hiashi secara perlahan dengan segala kelakuan buruk. Nanti ibu dan ayah bertengkar karena aku akhirnya bercerai. Juga memanfaatkan masa lalu agar ayah mengusirmu. Tapi...,”

“Setelah tidak sengaja mendengar tangisan ayah di tengah malam. Aku mulai merenung. Ditambah nasehat dari salah satu teman membuatku sadar. Hidup itu berlanjut. Dendam bukan hal yang baik.”

Aeri terenyuh mendengar perkataan Hanabi. Putrinya kini sudah bisa berpikir dewasa.

“Lalu kenapa waktu itu kau bersikap kasar padaku?” tanya Hinata.

“Gengsi, hehe.”

Hanabi nyengir polos. Disambut tawa Aeri dan Hinata. Hanabi ternyata memiliki gengsi besar seperti Hiashi. Mereka bertiga berpelukan haru tidak peduli tatapan pengunjung kafe lain.

“Kita ini keluarga.”

💜💜💜

Hinata tersenyum merasa lebih baik. Akhir pekan ini adalah pekan terbaik. Untuk pertama kali Hinata merasa kehangatan keluarga. Tanpa dendam atau berselisih paham.

“Sepertinya pertemuan dengan ibumu tadi baik. Bagaimana?” tanya Rin penasaran melihat Hinata yang tersenyum sembari mencuci piring kotor.

Pacar Rahasia ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang