"Sampai kapan kau akan terus mengabaikanku, Breenda!?" tanya Arion yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan frustasi.
Pasca insiden pertengkaran di pemakaman lima hari yang lalu, saat Breenda tersadar dari pingsannya, perempuan itu mengamuk dan melemparkan segala benda yang ada disekelilingnya pada Arion. Perempuan itu sama sekali tidak ingin melihat wajah Arion.
Arion bahkan hampir setiap hari mengetuk pintunya untuk mencoba berbicara pada wanita itu. Bukannya menjawab, Breenda malah melempar sesuatu ke arah pintu sebagai isyarat bahwa perempuan itu tidak ingin melihat Arion sama sekali.
Hingga akhirnya, Arion yang sudah tidak bisa lagi sabar dengan sikap Breenda kali ini menerobos masuk dengan raut wajah putus asanya. Mengajukan pertanyaan pada Breenda yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Breenda tidak lagi terkejut dengan kedatangan Arion karena dia sudah mengira jika suatu hari nanti Arion sudah tidak lagi tahan dengan keterdiamannya. Dan dengan pendirian yang teguh, Breenda tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.
Arion yang tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mulut Breenda tiba-tiba langsung menghampiri Breenda dan mencengkram kedua bahunya kuat-kuat. Matanya menatap tajam Breenda yang meringis kesakitan akibat perlakuan Arion.
"Kau masih tidak mau berbicara, hah!?" geram Arion.
"Shh.. Kau menyakitiku, brengsek!" rintihnya kasar sambil mencoba melepaskan dirinya dari cengkraman laki-laki itu.
Arion melepaskan cengkeramannya secara kasar hingga membuat Breenda menatapnya tidak suka. "Apa yang kau mau, Breenda?"
Breenda mendelik tajam. "Bukankah harusnya aku yang menanyakan hal itu padamu?"
Arion mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"
Breenda memutar bola matanya jengkel. Dia kemudian berlalu dari hadapan Arion yang menghalanginya dengan sedikit mendorong pria itu. "Jangan tanyakan padaku."
Arion memutar tubuhnya, menatap Breenda yang kini telah duduk pada sofa. "Kau benar-benar membingungkan Breenda!" desisnya kesal.
Breenda bersidekap dada balas menatap pria itu. "Bukankah harusnya aku yang bingung dengan sikapmu, Arion?"
Arion termangu.
"Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu apa alasanmu mengurungku di sini."
Arion tidak menjawab. Mulutnya tertutup rapat.
Breenda kemudian berdiri dan melangkah mendekati laki-laki itu. "Ahh, aku lupa. Bukankah kau hanya menginginkan tubuhku?" katanya tajam.
Arion menggeram. Ada sesuatu yang sedang dia tahan dalam dirinya saat ini.
Breenda kembali bergerak menjauh dari hadapan Arion. "Arion, uangmu sangat banyak. Kau bisa memilih wanita manapun untuk kau tiduri. Bahkan banyak wanita lain yang mengantri untuk menjual tubuhnya padamu. Lalu menapa kau mengurungku di sini hanya untuk tubuhku yang kecil?"
Kalau Breenda bisa membaca hati laki-laki itu sekarang, sudah pasti dia akan marah. Karena sekalipun laki-laki itu menahan Breenda di sisinya, dia tidak tahu apa alasannya. Alasan yang kuat menahan dan mengurung wanita itu di sini selain tubuhnya.
Saat pertama kali Arion menyentuhnya, itu merupakan satu momen yang tidak pernah dia temui pada wanita lain. Kulitnya yang mulus, peluhnya yang beraroma, tangis pelannya, serta lenguhan indahnya kala mereka sampai pada puncak kenikmatan bersama saat itu membuat Arion menyukainya dan menginginkannya lagi. Namun bibir laki-laki itu kelu untuk berbicara.
Breenda yang melihat Arion hanya bergeming menggeram kesal. "Apakah kau tidak bisa berbicara, Arion?"
Arion tersenyum miring. "Bukankah sudah jelas bahwa aku hanya menginginkan tubuhmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
On You [19+] [ONHOLD]
RomanceBreenda tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi semalang ini. Menjadi perempuan yang terjebak dalam sebuah insiden kotor membuatnya harus merasakan penderitaan yang menyakitkan. Bahkan bukan hanya dirinya, kehidupannya pun berada dibawah kuku...