Breenda membuka matanya perlahan. Sinar matahari menelisik masuk pada netranya membuatnya mengerjapkan matanya mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk. Kepalanya sangat sakit membuatnya meringis kecil. Matanya kemudian berputar. Meneliti seluruh benda di sekitarnya.
Tidak ada siapa-siapa.
Tangannya yang lemah tak bertenaga itu perlahan menarik selang ventilator dari wajahnya.
'Rumah sakit? Tapi kenapa?' batin Breenda.
Breenda kemudian menghela nafas. Berfikir sejenak untuk mengingat apa yang sebenarnya yang telah terjadi sampai ia bisa terbaring disini. Badannya sangat lemah dan tak bertenaga. Benar-benar tak ada tenaga bahkan hanya untuk menolehkan kepalanya saja.
Lalu tiba-tiba dia tersentak. Perutnya terasa kosong. Tangan kemudian bergetar lalu perlahan menjamah perutnya yang kini kembali datar sebelum waktunya. Mengelus dengan perlahan berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Matanya menatap nyalang langit-langit kamar yang berwarna putih itu. Dia kemudian ingat dengan jelas bagaimana kronologi kejadian yang membuatnya bisa terkapar lemah disini dan kehilangan bayinya. Bahkan penglihatan terakhirnya sebelum dia tidak sadar.
Matanya kemudian menutup dan perlahan kemudian Breenda menangis pilu. Semakin lama semakin kencang. Breenda berteriak dalam tangisnya.
Bayinya hilang dari perutnya. Bayinya tidak ada. Bayinya.
Breenda menangis semakin keras. Merutuki segala takdir buruk yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Dia semakin terisak dalam pejaman matanya. Tangannya yang berada diatas perut itu meremas baju rumah sakit yang dipakainya.
Sampai indra pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang berat dan sedikit tergesa memasuki ruangan ini. Namun Breenda tak kunjung membuka matanya. Bukan, dia tidak ingin membuka matanya.
Suara helaan nafas berat kembali menyapa indera pendengarannya.
"Tidakkah kau seharusnya bersyukur bahwa sudah enam hari kau tertidur dan terbangun hari ini adalah suatu keajaiban? Kau malah menangis seperti orang bodoh." Breenda tahu bahwa yang berbicara itu adalah laki-laki brengsek itu.
Breenda semakin terisak. Menyadari kenyataan bahwa sudah enam hari dia tidak sadarkan diri. 'Selama itu?' batinnya berbisik ngilu.
"Berhentilah menangis! Kau bukannya membuatku lega malah semakin pusing," gertak Arion kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Menyadari hal itu, Breenda membuka matanya. Kembali pandangannya pada langit-langit kamar berwarna putih itu. Air matanya terus mengalir walau kini isakannya semakin kecil.
'Maafkan Mama, nak.'
'Mama lalai. Mama ceroboh.'
'Mama menghilangkanmu, nak. Maaf.'
Breenda terus membatin. Merasa bersalah atas kecerobohannya sampai kehilangan bayinya. Air matanya tidak bisa mengering saat ini.
Kemudian Breenda menutup matanya lagi begitu mendengar derap langkah beberapa orang dari luar mendekat diikuti suara kenop pintu yang terbuka.
"Dia sadar. Periksa bagaimana keadaanya sekarang!" perintah Arion tegas tak terbantahkan.
Dokter itu mengangguk kemudian memeriksa denyut nadi pada kedua pergelangan tangan Breenda. Setelah itu, dokter itu memeriksa dadanya menggunakan stetoskop dan terakhir memeriksa pergerakan bola mata Breenda yang dibuka dengan sedikit paksaan karena Breenda terus memejamkan matanya dengan erat.
Dokter itu menghela nafasnya lega. "Kondisi nona ini sudah baik-baik saja. Namun detak jantungnya masih terlalu lemah. Juga dengan kondisi fisiknya yang mungkin dirasakan akan sangat sakit akibat benturan yang keras pada tubuhnya saat itu. Ditambah rasa shock akan kehilangan calon bayinya membuatnya semakin lemah."
KAMU SEDANG MEMBACA
On You [19+] [ONHOLD]
RomanceBreenda tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi semalang ini. Menjadi perempuan yang terjebak dalam sebuah insiden kotor membuatnya harus merasakan penderitaan yang menyakitkan. Bahkan bukan hanya dirinya, kehidupannya pun berada dibawah kuku...