4. Broken

22.6K 456 28
                                    

Breenda berjalan tertatih sambil memeluk dirinya. Tidak ada lagi air mata. Kini hanya tatapan serta pikirannya yang kosong. Kakinya terus berjalan tanpa alas dan menginjak apapun sampai membuat kakinya terluka. Namun tidak sakit. Indera perasanya saat ini benar benar mati.

Setelah berjalan lama, langkahnya berhenti. Dirinya tersadar kalau kini Breenda ada di sebuah jembatan yang letaknya benar-benar jauh dari desanya.

Breenda kemudia berjalan mendekat ke arah pembatas jembatan itu. Matanya menatap nyalang deras air sungai di bawahnya. Haruskah dia melompat? Mungkinkah itu bisa menghilangkan rasa hina terhadap dirinya?

Breenda menggelengkan kepalanya berusaha tersadar. Ada ibu dan ayahnya yang selalu menyayanginya. Dia tidak mungkin melakukan hal-hal yang lebih hina lagi.

Breenda kemudian kembali menangis. Betapa dirinya kini malu berhadapan dengan orangtuanya nanti. Namun dengan yakin, Breenda memutar langkahnya menuju jalan kearah pedesaannya. Dan dengan keyakinan kuat, Breenda akan menutupi semuanya dengan baik dan berharap agar tidak ada yang tumbuh diperutnya nanti. Semoga saja.

*On You*

Arion terduduk dalam sofa hotel yang nyaris ditempatinya selama dua pekan ini. Hembusan nafasnya terlihat lelah dengan apa yang terjadi nyaris seminggu ini. Sudah sepekan ini Arion sangat gusar. Urusannya memang sudah selesai sejak sepekan lalu di kota ini namun dirinya belum enggan meninggalkan kota sebelum membawa miliknya ikut bersamanya. Ya, Arion mengklaim bahwa Breenda adalah miliknya walaupun dia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Kenikmatan malam itu benar-benar menghantuinya dan rasanya Arion harus melakukannya lagi dan lagi.

"Tidak seperti biasanya kau gila gara-gara seorang gadis, Arion," sapa Barron yang muncul tiba-tiba dengan ekspresi menyebalkan.

Arion mendelik kesal. "Bukankah aku yang menyuruhmu untuk mengantarkan seorang gadis malam itu ke kamarku? Lalu mengapa kau tidak tahu siapa gadis itu?" cecar Arion mengabaikan perkataan Barron tadi.

"Sudah kubilang, wanita itu kembali lagi padaku setelah mendengar suara desahanmu dari dalam kamar," jawab Barron sedikit bosan menanggapi perkataan Arion yang setiap saat dalam sepekan ini ditanyakan padanya.

"Berhentilah bertanya seperti itu lagi, Man," lanjutnya sambil menyenderkan tubuhnya pada tembok dan matanya tak lepas memandang Arion dengan segala kegelisahannya.

Arion tiba-tiba duduk tegap. Rasanya dia mengingat sesuatu. Barron menaikkan sebelah alisnya.

"Ada apa?"

Arion berdiri dan merogoh sakunya lalu mengeluarkan ponselnya tanpa menanggapi Barron. Tangannya bergerak memencet dial telepon lalu tidak sampai pada dering ketiga, sapaan formal diujung sana terdengar ditelinga Arion.

"Kau dimana?" tanya Arion sambil berjalan meninggalkan kamar hotel serta Barron didalamnya yang kini mendesis kesal.

"Siapkan rekaman CCTV perusahaan saat rapat besar waktu itu. Dua jam sebelum rapat. Lantai ketiga. Didepan lift," cecar Arion dengan segala perintahnya.

Telepon ditutup setelah Arion mendengar suara kepatuhan dari sana. Kemudian tangannya mendial nomor lain di ponselnya. Dan sebelum dering kedua berbunyi, panggilan itu terespon.

"Siapkan mobil." Arion menutup panggilannya setelah memberikan perintah.

Arion bergegas menuju lift untuk turun ke basement. Rasanya tidak sabar dan begitu lega setelah pencariannya sepekan ini membuahkan hasil.

On You [19+] [ONHOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang