"Zein...." teriak seseorang membuat si empunya nama memutar bola matanya jengah.
Alif duduk tepat di sebelah sahabatnya yang tengah membaca buku. Ia mendecak karena Zein masih fokus membaca bukunya. Ia pun terpaksa merebut buku tersebut dari genggaman tangannya.
"Apa sih, Lif?" tanyanya kesal.
"Nih, liat!" sahutnya menunjukkan layar ponselnya.
Zein membaca chatingan antara Alif dan Amira. Entah mengapa, ia merasa ada yang tidak beres dengan gadisnya itu. Dengan tiba-tiba, ia meladeni sahabatnya yang menanyakan makanan favorit Amayra. Setahu dirinya, Amira begitu enggan membantu Alif dalam masa pendekatannya dengan Amayra. Tapi sekarang, Amira malah membantu Alif untuk mengambil perhatian jantung hatinya.
"Kamu tau 'kan, rumahnya Amayra?" tanya Alif menggebu-gebu.
Zein menatapnya intens. Sungguh, ia tak menyukai jika Alif kembali tidak waras karena terus mengejar Amayra yang jelas-jelas tak menunjukkan ketertarikannya. Alif terus mengukir senyum hingga tak menyadari jika orang yang diajaknya bicara sudah mengangkat kaki menuju ruangannya. Yeah, Zein dan Alif tinggal bersama di Butik ini. Karena Alif yang merasa tidak enak berlama-lama tinggal dengan Opanya, akhirnya Zein mengambil keputusan untuk satu tempat tinggal dengannya. Meskipun, mereka hanya menempati satu kamar, itu jauh lebih dari cukup dari pada harus menempuh perjalanan yang lama untuk menuju kampus atau Butik cabang pertama.
"Zein, Zein, kamu dimana?!" teriaknya yang menyadari jika dirinya ditinggal pergi oleh sahabatnya.
Alif beranjak menyusulnya yang sudah berada di dalam ruangan pribadi sekaligus kamar mereka berdua.
"Zein, ayo anterin saya." pintanya pada Zein yang tengah merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Zein tak menyahut. Ia malah semakin merapatkan pejaman matanya.
"Nanti kamu juga bakal ketemu Amira, Zein! Mereka 'kan satu rumah." tutur Alif langsung membuatnya membuka mata lebar-lebar.
Ada benarnya juga yang dikatakan Alif. Mereka itu kakak-beradik, pasti tinggal di satu rumah. Zein bangkit dari rebahannya dan langsung menyambar kunci motornya yang terletak di atas meja.
"Ayo, cepetan! Sebelum saya berubah pikiran, Lif!!" teriaknya berjalan lebih dulu.
"Kalo tentang Amira aja, kamu cepet, Zein." cibirnya yang segera menyusul Zein.
Alif menatap intens ke arah sahabatnya yang tengah bercermin di spion motor sambil merapihkan rambutnya.
"Percuma dirapihkan Zein, nanti juga berantakan lagi kena angin!" ujarnya sembari duduk di jok motor.
Zein melajukan motor dengan kecepatan sedang. Tak ada pembicaraan di dalam perjalanan. Tampak begitu ramai karena hari ini merupakan hari libur. Lebih tepatnya tanggal merah. Alif menepuk pundaknya lalu menunjuk pedagang martabak dipinggir jalan.
"Beli martabak dulu, Zein." titahnya yang hanya dibalas deheman oleh Zein.
Zein masih duduk di atas motornya. Ia membiarkan Alif sendiri yang membeli martabak tersebut. Seketika, senyumnya terukir. Tiba-tiba saja, ia teringat ucapan Amira kemarin.
"Besok libur, kamu jangan kangen sama aku, Zein"
"Nggak! Saya nggak akan kangen sama kamu. Atau kamu yang akan kangen saya, Mir?"
"Ih, ngapain juga kangen sama kamu!"
"Zein! Ngapain senyum-senyum sendiri? Kamu udah gila ya?" ucap Alif membuyarkan lamunannya.
"Sepertinya. Udahlah, cepet naik! Saya masih banyak urusan, Lif!
Zein terus mengingat-ingat jalan menuju rumah gadis tambatan hatinya. Maka dari itu, ia melajukan motor dengan pelan. Di detik berikutnya, ia memberhentikan motor karena terlupa jalan mana yang harus dipilih. Kanan atau kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Boutique [TAMAT]
SpiritualZein melamar seorang gadis yang sudah lama berlabuh di hatinya. Begitu juga dengan sang gadis. Suatu hari, setelah Zein lulus kuliah, ia memutuskan untuk melamarnya. Sayangnya, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua setelah melihat kedat...