(1) Ibu Kota

8.8K 444 33
                                    

Seorang pemuda membenarkan posisi tas yang digendongnya. Ia baru saja menginjakkan kakinya di terminal kota metropolitan ini. Selama 6 tahun, ia tak pernah sekalipun mengunjungi tempat tinggalnya. Karena letak pesantrennya begitu jauh dari kota. Yang membuat dirinya harus kuat menahan rindunya dengan keluarga. Sesuai surat yang ia terima dari orangtuanya, ia harus lebih dulu menemui sang adik yang menunggunya di terminal ini juga. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang Adik.

"Assalamu'alaikum, Abang" panggil seorang gadis remaja yang memakai gamis dan jilbab yang senada.

"Wa'alaikumussalam, Adek?!" ucapnya setelah memutar tubuhnya. Gadis remaja itu mengangguk. Ia langsung mendekap tubuhnya. Ia sangat merindukan sosok Nana yang manja sewaktu kecil. Air mata kerinduan mengalir dari pelupuk mata keduanya.

"Nana kangen Abang" ucapnya menenggelamkan kepalanya di dada bidangnya. Namanya Azzana, tapi keluarganya lebih sering memanggilnya Nana.

Zein mengelus sayang kepalanya yang terbalut jilbab panjangnya.

"Abang juga kangen sama Nana" jawabnya melepas pelukannya. Ia tersenyum tipis melihat Nana yang sesenggukan.

"Ya udah yuk Bang, kita pulang Nana udah kangen banget sama Abi, Ummi, dan adik-adik" ajaknya yang diangguki oleh Zein. Ia merangkul tubuhnya yang lebih rendah darinya.

"Nana sudah lama menunggu ya? Abang minta maaf deh" ucapnya mengutarakan perasaan tak enak yang mengganjal di hatinya.

"Enggak kok Bang, Nana juga baru sampai. Saat turun dari bus, Nana liat Abang yang celingak-celinguk. Terus Nana menghampiri Abang deh" jelasnya yang mendapat cubitan di pipinya tembemnya.

"Em.. Kenapa nggak diantar sama Kakek atau dijemput sama Abi, Dek?" tanyanya yang bingung dengan Nana yang menaiki kendaraan umum untuk pulang. Katanya, sekalian sama teman-temannya yang pulang ke Jakarta juga.

"Enggak mau. Nana 'kan udah gede, Nana mau mandiri" jawabnya sok dewasa. Zein terkekeh mendengarnya. Baginya, Nana itu masih kecil dan masih manja. Meskipun, kemandirian sudah terpancar dari sikapnya.

Zein memberhentikan sebuah taksi. Ia membukakan pintu untuk sang Adik, kemudian ia berjalan memutar untuk masuk di pintu seberang.

"Dek, punya alamat rumah? Abang lupa" pungkasnya dengan cengiran khasnya.

Nana menggelengkan kepalanya. Ia tak percaya dengan kakaknya yang tak mengingat alamat rumahnya sendiri. Wajar. Zein sudah beberapa tahun tak mengunjungi rumah. Malah orang rumah yang mengunjunginya. Perjalanan dari terminal menuju rumah sangat memakan waktu. Bahkan, Nana saja sampai mengantuk. Zein menatap keluar jendela. Ia mengamati segala perubahan yang telah terjadi.

"Banyak yang berubah ya" gumamnya.

"Abang" panggil Nana menatap lekat matanya.

"Iya" sahutnya.

"Nanti anterin Nana ke butik Ummi yah?!" pintanya.

"Abang nggak janji, biasanya kalo cewek udah belanja, bakal lupa waktu" terangnya membuat Azzana mendengus sebal.

"Nana janji, cuma sebentar aja" serunya.

"Mau belanja di butik Ummi yang mana?" tanya Zein membuat matanya berbinar. Jika sudah seperti ini, biasanya Abangnya akan mau mengantarnya.

"Yang deket sama rumah a-" sahutnya terpotong karena taksi yang ditunggangi mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan pagar yang menjulang tinggi.

"Sudah sampai, Mas" ucap supir taksi.

Zein keluar terlebih dahulu, setelahnya ia membukakan pintu dan membantu Azzana turun dari taksi. Kemudian, mengambil tas mereka di bagasi.

Love in Boutique [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang