Langit Jakarta mulai menggelap tertutupi awan hitam. Membuat para karyawan bergegas pulang ke rumah sebelum butiran-butiran air turun ke bumi. Berbeda dengan seorang gadis yang sedang tanggung berjuang mengeluarkan emas di toilet tempat kerjanya.
"Pak Zein" panggil seseorang mengalihkan pandangan Zein dari ponsel yang digenggamnya.
"Call me Al" sahut Zein tanpa menoleh ke sumber suara.
"Okey. Pak Al, saya pamit pulang duluan. Tolong bilangin ke Amira ya, Pak. Saya buru-buru mau angkat jemuran, soalnya di rumah nggak ada siapa-siapa" ucapnya yang hanya diangguki oleh Zein.
Selia melenggang pergi dengan berdo'a agar hujan tak datang duluan. Ia tak mau jemurannya yang sudah kering menjadi basah kembali. Zein menatap kepergian Selia. Ia berpikir sejenak, jika Selia pulang terlebih dahulu berarti Amira ditinggal sendirian?. Semua karyawan sudah pergi meninggalkan Butik. Berarti hanya menyisakan dirinya dan Amira yang entah berada dimana.
"Saya harus cari Amira" pungkasnya hendak bangkit dari duduknya, tetapi Amira lebih dulu muncul.
"Mbak Selia mana?" ucap Amira yang tak tahu tertuju pada siapa. Pasalnya, ia tak menatap Zein. Melainkan mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari keberadaan Selia.
"Udah pulang duluan" jawab Zein membuat Amira menoleh ke arahnya.
"Terus, Ami pulang sama siapa?" lirihnya.
Melihat Zein yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya membuat Amira berjalan gontai keluar. Mungkin, ia akan naik ojek. Tetapi melihat mendung yang sudah merata membuat dirinya tak yakin jika ojek akan melewatinya. Baru saja, ia melangkahkan kaki hendak meninggalkan Butik, tetapi rintik hujan telah turun lebih dulu dengan deras. Amira menarik tubuhnya kembali masuk ke dalam. Ia mendapati Zein yang tengah menatapnya. Sungguh, setelah kejadian itu Zein menjadi amat menyebalkan.
"Hujan Pak" basa-basi Amira. Ia merasa kikuk karena Zein menatapnya dengan tak biasa.
"Tau saya juga" sahutnya datar.
Amira masih berdiri di tempat pijakannya. Ia mengamati Zein yang beranjak masuk ke dalam ruangannya dan keluar dengan kursi plastik ditangannya. Amira mengangkat sebelah alisnya saat Zein melewatinya.
"Kamu di dalem, biar saya yang diluar" titahnya pada Amira yang tanpa disadari menganggukkan kepalanya.
Di detik berikutnya, Amira mengulum senyum. Ia tak menyangka jika Zein itu amatlah peka. Ah rasanya, ia semakin cinta padanya. Sesekali ia mencuri pandang pada Zein yang tengah menatap lebatnya hujan.
Lama-kelamaan, hawa dingin mulai dirasakan Zein. Ia langsung menggosok-gosokkan telapak tangannya agar merasa hangat. Namun sepertinya itu tak mengurangi rasa dinginnya sedikit pun. Karena percikan air hujan yang terus mengarahnya, Zein memutuskan untuk memindah posisi kursinya ke dalam Butik---dekat pintu. Ia rasa jarak antara dirinya dan Amira cukup jauh, jadi tak akan menimbulkan fitnah nantinya.
"Mau Ami buatin teh atau kopi, Pak?" tawar Amira sedikit mengeraskan suaranya.
"Kopi aja, Mir" jawab Zein.
Amira segera bergegas membuatkan kopi panas untuknya. Bagaimanapun ia bertanggung jawab atasnya. Karena dirinya berteduh di dalam Butik membuat Zein harus berada di luar dan pasti ia kedinginan. Apalagi dengan kemeja yang dipakainya tampak basah terkena cipratan air hujan. Zein tengah dilanda kebingungan. Ingin sekali ia menutup pintu, karena cipratan air hujan mengarah ke pintu masuk, tetapi rasanya tak mungkin. Apa yang akan dikatakan orang jika seorang lelaki bersama dengan seorang perempuan berada di dalam ruangan yang sama dan tertutup rapat?. Ia tak mau jika karena ini akan menimbulkan suatu fitnah. Jika mereka digrebek dan Zein disuruh untuk menikahi Amira, itu tak masalah. Tetapi, ia tak mau menikahi Amira dengan cara seperti ini. Lagipula ia tak tahu apakah Amira juga mencintainya atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Boutique [TAMAT]
SpiritualZein melamar seorang gadis yang sudah lama berlabuh di hatinya. Begitu juga dengan sang gadis. Suatu hari, setelah Zein lulus kuliah, ia memutuskan untuk melamarnya. Sayangnya, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua setelah melihat kedat...