Sampai saat ini hatinya masih tak bisa tenang. Saat tiba di Butik, ia mendapat kabar jika adik kembarnya hilang dari pesantren. Kedua orangtuanya belum bisa melaporkan kepada pihak berwajib karena belum 1x24 jam. Karena hal itu, keluarga besarnya sudah digegerkan dengan hilangnya mereka. Zein terus berjalan mondar-mandir di luar ruangannya. Pikirannya masih melayang-layang menerka keberadaan mereka. Tetapi, tak ada yang didapatinya. Kecuali, kegelisahan yang semakin menjadi.
"Ya Allah... Fahri dan Fauzi kemana sih? Semoga mereka nggak dalam bahaya!" gumamnya seraya menggenggam erat ponsel ditangannya.
Amira yang sedari tadi memperhatikannya merasa gemas sendiri. Ia tak tahu apa yang membuatnya gelisah seperti itu. Hanya ada satu cara agar ia mengetahui alasannya, yaitu bertanya kepadanya.
"Zein, ada apa sih?" tanyanya yang sama sekali tak ditanggapinya.
Amira menghela napasnya. Sepertinya, Zein masih menghindarinya tanpa alasan yang pasti sejak kepergian Baits. Itulah yang membuat dirinya merasa sedih. Awalnya, ia pikir setelah kepergian Baits maka Zein akan menggantikan posisinya. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Bahkan, Zein tak pernah lagi bertegur sapa dengannya.
"Si kembar hilang!" sahutnya lirih. Ia memejamkan matanya dengan tubuh yang bersandar di dinding. Wajahnya tampak begitu frustasi dan Amira bisa melihatnya.
Amira menggigit bibir bawahnya. Ia harap, si kembar akan baik-baik saja. Sekarang, ia merasa bingung untuk menenangkannya. Mungkin memberinya minum akan membuatnya sedikit lega. Dengan cepat, Amira beranjak menuju dapur Butik untuk mengambil air. Yeah, Butik Al-Farisi ini di dekorasi layaknya rumah. Dimana terdapat fasilitas yang tidak jauh berbeda dengan rumah.
"Minum dulu ya, Zein." titah Amira memberikan segelas air padanya.
Zein menerimanya, lalu berjongkok dan meminum air tersebut dengan perlahan. Pikirannya masih melayang-layang memikirkan kemana ia harus mencari keberadaan adik kembarnya. Ia tak bisa membayangkan betapa khawatirnya Abi dan Umminya. Sesaat ia merasa geram dengan adik kembarnya yang selalu saja berulah.
Amira menggigit bibir bawahnya, ia tak berani bertanya padanya lagi. Maka, ia pun kembali ke tempat kerjanya. Matanya tak luput mengawasi Zein yang masih terdiam.
"Mi, kenapa tuh?" tanya Selia mengangkat sebelah alisnya ke arah Zein.
Amira menghela napas, "Fahri dan Fauzi hilang, Mbak." sahutnya membuat Selia terperanjat.
"Hilang? Bukannya mereka ikut Ummi ke Jatim ya?"
"Kayaknya mereka kabur, mereka nggak mau masuk pesantren."
"Nakal banget, dong ya?" ucapnya berbisik, takut terdengar oleh bosnya.
Tak lama, seorang pemuda muncul dengan wajah masamnya. Ia langsung menghampiri Zein. Sesampainya, ia mendorong tubuh sahabatnya yang mengakibatkan tubuh Zein jatuh di atas lantai. Zein masih dalam diamnya. Ia sama sekali tak berkeinginan untuk membalas ulah sahabatnya itu.
"Suruh adik kamu turun dari mobil!" titahnya berhasil mengambil perhatian Zein.
Zein mengerutkan keningnya. Adik? Semua adiknya berada di Probolinggo. Lalu, adik siapa yang dimaksud oleh Alif?. Di detik berikutnya, ia paham maksud sahabatnya itu. Dengan cepat, ia beranjak menuju parkiran. Para karyawan yang melihat Zein berjalan tergesa-gesa ikut mengikutinya. Begitu juga dengan Amira. Mereka tak berani mendekat--hanya melihatnya dari dalam Butik melalui pintu kaca atau jendela. Berbeda dengan Amira yang langsung membuntutinya. Zein membuka pintu mobil, amarahnya memburu melihat adik kembarnya yang menatapnya intens.
"Keluar!!" teriak Zein membuat adik kembarnya tersentak, begitu juga dengan Amira dan Alif yang sudah berdiri di belakangnya.
Wajah Zein sudah merah padam. Ia mencoba mengontrol emosinya yang semakin naik. "Abang bilang keluar!!" teriaknya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Boutique [TAMAT]
SpiritualZein melamar seorang gadis yang sudah lama berlabuh di hatinya. Begitu juga dengan sang gadis. Suatu hari, setelah Zein lulus kuliah, ia memutuskan untuk melamarnya. Sayangnya, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua setelah melihat kedat...