Amira duduk termangu di dalam kamarnya. Saat ini, ia sudah kembali ke Jakarta. Ia pikir, semuanya baik-baik saja. Tetapi, kenyataannya tidak sejak Ayahnya mengatakan bahwa akan ada seorang lelaki yang ingin menikahinya dan dirinya harus menerimanya. Itu adalah sebuah pemaksaan. Ia sama sekali tak mencintai lelaki manapun, kecuali Zein.
"Aku harus gimana?" lirihnya.
Sekarang, ia benar-benar bingung. Ia ingin memberitahukan kembarannya, namun itu hanya akan membuat situasi semakin runyam karena dirinya yakin Amayra akan menentang keras pernikahan ini. Kecuali, setelah hari pernikahannya ditentukan maka Amayra tak bisa melakukan apapun. Hanya menerimanya dengan terpaksa.
"Ami, mereka sudah datang." ucap Tia membuyarkan lamunan putri bungsunya.
Tia tak bisa melakukan apa-apa. Meski, ia tahu bahwa putrinya sangat mencintai Zein.
"Iya Bu." jawab Amira berat hati.
"Maafin ibu, Mi... Ibu nggak bisa ngelakuin apa-apa untuk menghentikan keinginan Ayah yang ingin menikahkan kamu dengan anak temannya." ujar Tia tersedu.
Amira tersenyum tipis. Ia mengelus punggung ibundanya dan mendekapnya erat. Sekarang, ia ikhlas. Mengikhlaskan jika dirinya bukanlah jodoh dari pemuda yang dicintainya. Ia memasrahkan kehidupannya setelah menikah dengan lelaki yang sama sekali tak ia ketahui.
"Ami ikhlas, Bu. Ami hanya ingin membuat ayah bahagia." ucapnya mencoba meyakinkan kepada ibundanya jika dirinya baik-baik saja.
Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu. Darma menyambut kedatangan putrinya dengan senyum merekah. Akhirnya, ia bisa terbebas dari tanggungjawabnya sebagai orangtua setelah Amira menikah.
"Ini putri saya, Amira. Cantik bukan?" ucap Darma membuat dua lelaki yang duduk berhadapan dengannya mengulum senyum.
"Baiklah, nak Amira, perkenalkan ini putra saya, namanya Fatur. Dia ini lulusan sarjana ekonomi." ucapnya memperkenalkan putranya pada calon menantunya.
Amira mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Kedatangan kami ke sini untuk melamar putrimu, Darma. Saya yakin, kamu sudah memberitahu keluargamu." lanjutnya dengan diakhiri tawa.
"Benar. Saya sudah memberitahukan keluarga saya, dan kami menerima lamaran putramu Fatur untuk menjadi suami putri saya, Amira."
Dep!
Langkah seorang pemuda terhenti. Ia tak mungkin salah mendengar. Tubuhnya menjadi gemetaran, bahkan paper bag ditangannya sampai terjatuh ke tanah. Baru kemarin, ia bertemu dengan Amira setelah sekian lama. Dan sekarang, Amira dilamar oleh lelaki lain. Ia tersenyum getir, tak mungkin Amira mengkhianatinya. Mereka sudah sama-sama berjanji.
"Kamu mengkhianatiku, Mir." gumamnya segera beranjak dari tempatnya. Tak lupa, ia mengambil kembali paper bag tersebut.
Sesampainya di dalam mobil, Zein memukul setir mobilnya beberapa kali dan berteriak tak jelas. Suasana hatinya begitu hancur. Ia tak sanggup menyaksikan gadis yang dicintainya bersanding dengan lelaki lain. Tanpa sadar, air mata mengalir dari pelupuk matanya. Ia menangis untuk kesekian kalinya.
"Aku tak punya kesempatan untuk memilikimu, Mir! Aku kalah! Aku menyerah! Aku tak bisa melawan kehendak Ayahmu!!" lirihnya menatap sendu sebuah rumah yang tadi dikunjunginya. Meski, hanya sampai di depan pintu rumahnya yang tertutup rapat.
Di sore harinya,
Sejak lamaran tersebut hingga kini, Amira berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia diminta oleh kembarannya untuk mengantarkan oleh-oleh dari Cirebon kemarin. Ia menaiki motor yang baru dibeli sang Ayah menuju rumah yang ditempati Alif dan Amayra. Setelah lima belas menit menempuh perjalanan, akhirnya ia sampai di rumahnya. Senyumnya terpatri melihat Alif yang tengah menggendong keponakannya di halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Boutique [TAMAT]
SpiritualZein melamar seorang gadis yang sudah lama berlabuh di hatinya. Begitu juga dengan sang gadis. Suatu hari, setelah Zein lulus kuliah, ia memutuskan untuk melamarnya. Sayangnya, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua setelah melihat kedat...