Dengan gontai, Zein menghampiri sang Abi yang tengah menikmati kopi di teras rumah. Ia mendaratkan pantatnya di kursi sebelah Azzam, tepatnya disebelah meja yang menyekat dua kursi itu.
"Bi" panggilnya membuat Azzam menoleh.
"Kenapa?" tanya Azzam setelah menyeruput kopi hitamnya.
Zein merogoh kantong celana panjangnya. Ia mengambil benda kotak persegi panjang itu dan menyodorkannya ke hadapan Azzam.
"Kenapa? Abang nggak suka sama handphone-nya, kalo gitu nanti Abi beliin lagi, tapi, jangan bilang Ummi" ucapnya menelan di akhir kalimat.
"Bukan itu maksudnya, Abi....." geram Zein pada Abinya yang tak paham dengan apa yang dimaksudkannya.
"Terus?!" Azzam menautkan kedua alisnya.
"Abang, nggak bisa gunain handphone ini, Bi!!" jelasnya membuat tawa sang Abi pecah.
"Hahahaha...... Zein.... Zein...." Azzam menggeleng-gelengkan kepalanya. Zaman sudah se-modern ini, tapi putranya tak mengerti dengan yang namanya handphone. Mungkin, putranya harus mulai beradaptasi dengan lingkungan ibu kota ini. Yang awalnya, tinggal lama di tempat terpencil.
"Abi! Abang lagi serius, malah diketawain" kesalnya.
"Iya-iya" sahutnya menghentikan tawanya.
"Kamu belajar dong Bang" lanjutnya kembali menyeruput kopinya.
Zein menggaruk kepalanya. Ia bingung, harus dengan siapa ia belajar memainkan ponsel. Pada Umminya?, tapi, ia tak mau mengambil waktu istirahatnya setelah lelah mengurus rumah dan adik-adiknya. Pada Azzana?, ia sudah malas lebih dulu, jika adik perempuannya ini puas menertawakannya karena hal ini. Pada Abinya?, sepertinya tak mungkin. Karena, Azzana dan Azzam itu sebelas, dua belas. Tidak jauh beda.
"Sudah ya Bang, Abi mau masuk ke dalam, mau pacaran sama Ummi dulu" ucapnya cekikikan. Kemudian, melenggang pergi begitu saja. Membuat rasa kesal menyelinap masuk di hati pemuda tampan itu.
"Udah punya banyak anak aja, masih pacaran! Dasar Abi!! Sukanya, bikin Abang iri aja!!" desisnya.
********
Zein mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen. Kemudian, beranjak menuju meja belajar yang ada di kamarnya. Ia menarik kursinya untuk lebih dekat dengan meja agar membuatnya lebih nyaman saat menulis nanti.
Kriteria Istri idamannya
Zein AlatasEntahlah, tiba-tiba saja dirinya ingin menulis list kriteria istrinya kelak. Mungkin memang benar, jika dirinya sudah kebelet nikah karena tiap-tiap hari melihat Abi dan Umminya yang selalu romantisan. Ia iri. Ia juga ingin merasakan hal itu. Tetapi, ia belum berani mengutarakan keinginannya untuk menikah muda pada orang tuanya.
1. Sholehah
-Bisa mengaji
-Rajin sholat
-Berpakaian syar'i
-Mengerti AgamaAlasan: Karena nantinya, dia yang akan menjadi madrasah pertama untuk anak-anak kami kelak
2. Tidak perlu cantik, asalkan baik
Alasan: Karena cantik rupa itu tak akan abadi. Jika cantik budi pekerti itu harus pasti
"Harus ini!" gumamnya.
Kemudian, ia memainkan pulpen di jemarinya. Ia masih berpikir untuk menulis kriteria istrinya selanjutnya.
3. Sedikit cerewet dan sedikit garang
Alasan: Biasanya lebih menantang
Zein tertawa kecil, tanpa sadar ia mengingat kejadian tadi pagi, saat dirinya dikira tukang cat oleh Amira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Boutique [TAMAT]
SpiritualZein melamar seorang gadis yang sudah lama berlabuh di hatinya. Begitu juga dengan sang gadis. Suatu hari, setelah Zein lulus kuliah, ia memutuskan untuk melamarnya. Sayangnya, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua setelah melihat kedat...