(23) Tiga buah kebahagiaan

1K 165 16
                                    

Tanpa terasa tiga tahun berlalu. Selama itu juga Amira tak pernah mendapatkan kabar apapun dari sahabatnya. Ingin sekali ia bertanya pada Zein, namun niatnya selalu terurung kembali mengingat kejadian masa lalu. Dimana Zein bersikap cuek dan menghindari saat kepergian sahabatnya. Hanya sepucuk do'a yang ia panjatkan agar Allah selalu memberi perlindungan padanya.

"Ngelamunin apa sih, Kak?" tanya seorang remaja lelaki disela menyedot ice drink kesukaannya.

Amira menggeleng. Lalu, menatap sekilas seorang lelaki yang tengah serius berbicara di balik telponnya. Yeah, ia akui akhir-akhir ini temannya disibukkan dengan bisnis keluarga dan skripsi kuliah. Semoga saja, Allah memperlancar. Itulah do'a yang sering dipanjatkan olehnya.

"Abang sih, telponan mulu!" seloroh Fauzi menyenggol lengan Abangnya.

Zein sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu menutupi speaker ponselnya. Ia mengangkat dagunya ke arah Fauzi, kemudian melirik Amira yang mengedikkan bahunya. Merasa urusan bisnisnya jauh lebih penting, Zein pun kembali melanjutkan telponnya. Tak lama, Alif dan Amayra tiba dengan tawa keduanya. Amira menghela napas beratnya. Makin hari, keduanya memang semakin dekat. Alif selalu meluangkan waktu dengan gadisnya di tengah kesibukannya yang sama-sama mengurusi bisnis. Hanya saja, ia mengurusi bisnis milik wanita yang mengangkatnya sebagai anak. Dan satu lagi, ia juga tengah menempuh pendidikan kuliahnya di universitas yang sama dengan sahabatnya.

"Assalamu'alaikum..." ucap keduanya bersamaan.

"Wa'alaikumussalam."

Amira memelototi sebuah tangan yang menggenggam tangan kembarannya. Tangan Amira terulur meraih buku menu dan memukul tangan yang lancang itu. Amira sedikit keras memukul punggung tangannya. Ia tak peduli dengan Alif yang meringis kesakitan. Toh, dia juga yang salah.

"Argh! Sakit sih, Mi!!" ringis Alif mengelus punggung tangannya.

"Salah lo sendiri! Seenaknya, pegang-pegang tangan kembaran gue!" omel Amira yang langsung membuatnya terdiam. Merasa salah.

Amayra duduk tepat disebelah kembarannya. Alif duduk bersebrangan dengan sahabatnya. Sedangkan si kembar, mereka duduk berhadapan dengan dua bidadari Butik Al-Farisi. Zein meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu, menetralisir pikirannya yang pusing memikirkan bisnis dan skripsi kuliahnya.

Zein sedikit terperanjat melihat Alif yang tengah melihat-lihat buku menu. "Kapan dateng, Lif?" tanyanya basa-basi.

"Dari tadi kali." jawab Amira.

Fahri dan Fauzi saling berbisik. Entah, hal apa yang mereka bisikkan. Tetapi, itu berhasil mengambil perhatian Abang mereka yang langsung menegur keduanya.

"Bisikin apa kalian?!"

Fahri dan Fauzi menarik sudut bibir, membuat Amira merasa curiga jika mereka akan melakukan sesuatu. Yang pastinya ada kaitannya dengan dirinya, karena mereka menatapnya tanpa kedip sembari menyeringai.

"Poji.... Pori...." ucap Zein membuat adik kembarnya menekuk wajah. Sudah lama sekali, mereka tak mendengar panggilan menyebalkan dari sang Abang. Dan sekarang, Abang mereka memulainya lagi.

"Abang!" teriak mereka bersamaan membuat orang-orang disekitar terkejut.

Fahri dan Fauzi menampilkan deretan gigi mereka setelah tersadar orang-orang yang berada di restoran ini menatap ke arah keduanya.

"Maaf ya Pak, Bu, Kakak, Mas, Mbak, Adek," ujar Fauzi menatap semuanya bergantian.

"Silahkan dilanjut lagi makan dan minumnya." lanjut Fahri mempersilahkan para pengunjung untuk melanjutkan aktivitas makan dan minum yang terhenti akibat mereka.

Love in Boutique [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang