Ibu adalah sosok paling cantik yang pernah aku lihat sepanjang masa. Dengan tubuh tinggi kecil, pipi yang berisi, kulit putih pucat, dan rambut perak berkilau. Tuhan sepertinya sedang bahagia sekali saat menciptakan Ibu. Aku nyaris tidak pernah melihat kekurangan dari sosoknya.
Sedangkan Ayah, dia bagaikan kesatria gagah berani seperti di film-film fantasi dengan kuda dan pedangnya. Perawakannya tinggi, badannya tegap. Dada bidang, bahu lebar, punggung yang kokoh. Rambutnya hitam alami. Garis wajahnya tegas, alisnya tebal, sorot matanya tajam. Ada lesung di kedua pipinya yang muncul setiap kali dia tersenyum. Saat aku menginjak usia remaja, ketika aku mulai mengerti tentang bentuk badan ideal, Ayah selalu menjadi role model-ku. Kami selalu berolahraga bersama, pergi ke pusat kebugaran bersama, membentuk massa otot di tubuh kami bersama-sama. Tapi hingga saat ini, hingga aku berusia 21 tahun, aku selalu sukses dibuat iri dengan bentuk tubuh Ayah yang sangat sempurna. Itu adalah bentuk tubuh idamanku.
"Kamu masih muda, Jen. Masih ada banyak waktu untuk berolahraga. Dengan jadwal yang dilakukan secara giat dan serius, di usia dua puluh-tiga puluhan nanti, Ayah yakin kamu bisa memiliki tubuh yang lebih bagus dari Ayah," ujar Ayah pada suatu hari menyemangatiku. Pesan itu efektif sekali hingga saat ini.
Hari kedua ini ada kelas olahraga di kelas pertama. Semua mahasiswa akan digabungkan jadwalnya setiap kelas olahraga per angkatan. Kelasku berbaris di lapangan, bergabung dengan kelas lain, mendengarkan instruksi dari instruktur terkait olahraga apa yang akan dilakukan hari ini. Aku memperhatikan dengan seksama.
Hari ini sepertinya akan berjalan lebih lama. Instruktur mengubah skenario kelas pertama kami menjadi ajang pengenalan ekskul olahraga kepada mahasiswa baru. Aku, Rashad, Hugo, dan Jay saling tatap.
67 tahun Culture Technology Academy berdiri, 67 tahun pula terbentuk cerita di tiap angkatannya. Kami adalah Angkatan 66, dan angkatan kami akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah CTA ketika mahasiswa tahun kedua secara serentak diikutsertakan dalam kegiatan ospek.
"Serius? Kita diminta untuk menonton jalannya ospek?" tanyaku masih setengah percaya.
"Hei, Dude. Harusnya kau senang. Kita jadi jamkos. Tidak ada kelas. Menonton anak-anak baru akan lebih seru dibandingkan praktik-praktik olahraga membosankan dari Pak Instruktur," ujar Hugo. Di antara kami berempat dia memang yang paling tidak suka olahraga.
Rashad dan Jay menghela napas. Sepertinya mereka sepemikiran denganku. Kegiatan seperti ini hanya akan membuang waktu kami. Terlebih mahasiswa tahun kedua selalu menjadi tahun-tahun tersibuk bagi mahasiswa CTA. Tahun-tahun di mana kuliah akan dipenuhi dengan karyawisata, camping, dan kegiatan outdoor lainnya. Sekilas terlihat menyenangkan memang, tapi juga sangat melelahkan. Belum lagi dengan tugas-tugas laporan dan makalah, serta pembuatan vlog sebagai bukti dokumentasi.
Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menurut. Kami duduk di pinggiran lapangan kampus, di anakan tangga paling depan. Dari sini kami bisa dengan jelas menyaksikan jalannya ospek. Para mahasiswa baru terlihat canggung. Sepertinya mereka kikuk disaksikan oleh kakak-kakak tingkat mereka. Terutama yang perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP FIGHT
Fanfic⚠ CERITA INI DIBUAT UNTUK MENGHIBUR PEMBACA YA BUKAN UNTUK DICURI! :D ⚠ BAHASA BAKU ⚠ IT'S JUST FANFIC, BE A SMART READER GUYS! ⚠ SERIOUS WARNING FOR SOME CHAPTERS DUE TO VIOLENT CONTENT • Ini bukan tentang kisah royal charming yang mampu membuatmu...