"Alvin malu ya, punya pacar jerawatan?"
Drabia, gadis yang kerap dipanggil Bia. Wajah gadis itu memerah karena jerawat di beberapa bagian wajahnya sekaligus bekas yang tak kunjung memudar. Sebut saja Bia Acne fighter.
Rambut terkepang satu mirip ekor kuda menari-nari sesaat ketika angin berhembus menerpa setiap anak rambutnya. Mata coklat dengan bulu mata yang lentik. Mata indah itu.. sedang menahan buih-buih air di pelupuk matanya. Tanpa polesan make-up gadis itu selalu tampil apa adanya.
"Jelas gue malu. Gue sering ditanya temen-temen, kenapa masih mau pacaran sama lo! Udah bodoh, jerawatan lagi," ketus Alvin sebagai pacar Bia dengan lancar.
Alvin heran, kenapa Bia mati-matian memperjuangkan dirinya. Padahal berkali-kali dia menyakiti Bia. Kata yang terus terucap di bibirnya sengaja ia tajamkan untuk membuat pelakunya menyerah.
Karena Alvin benar-benar tidak bisa mencintainya, dan tidak akan bisa. Bia bukan tipenya, tiap kali melihat wajahnya dia sudah muak! ini sudah setengah tahun setelah kejadian dimana ia sah menjadi milik Bia sepenuhnya, tapi kenapa gadis itu belum menyerah juga?
Alvin sering kali berpikir, dari sekian banyaknya orang kenapa harus dirinya?
Tidak ada cara lain selain menyakitinya agar Bia segera pergi dari hidupnya!
Iba? tidak! Alvin tidak pernah memiliki perasaan iba kepada Bia, yang ada ia semakin membencinya.
Gadis itu sendiri yang memaksa masuk dalam hidupnya. Jadi, dia sendiri yang harus menerima konsekuensinya.
"Aku masih butuh-"
"Proses? proses terus Bi, tapi gak ada hasilnya, kan?" Alvin menarik dan menghembuskan napasnya kasar. "Yang ada muka lo tambah hancur! Eh, apa jangan-jangan lo beneran miskin sampai perawatan gak mampu, Bi?" lanjut Alvin tajam.
Persetan dengan latar belakang Bia, mau dia kaya atau miskin, Alvin hanya ingin Bia secepatnya pergi dari hidupnya! Dia tidak ingin terus-menerus bertemu dengan gadis gila ini, sungguh.
Juga, Alvin tidak ingin siapapun memasuki relung hatinya, kecuali Alena seorang.
Ah, gadis itu, Alvin jadi ingin cepat-cepat bertemu.
Mata Bia semakin terpejam erat bersamaan dengan kedua tangannya yang meremas kuat ujung rok abu-abunya. Ia berusaha menetralkan emosi yang bercampur dengan rasa sakit hatinya.
Ini memang resiko, Bia. Dia sendiri yang memulai segalanya. Itu berarti Bia harus siap menerima resikonya.
"Alvin nggak bisa nunggu sebentar, ya? Sembuhin jerawat nggak segampang itu, Alvin. Tungguin Bia sembuh, ya? Sebentar aja, Bia pasti sembuh! Bia juga nggak pengen malu-maluin Alvin terus," ucapnya meski ia tau Alvin tidak akan semudah itu mengabulkan permintaannya.
"Lo gak mau malu-maluin gue?" Alvin tersenyum sinis. "Bi denger ya, dengan lo jadi pacar gue.. lo udah malu-maluin gue. Lo ga mikir dari situ? Dan apa tadi, lo minta gue nunggu? Gak akan!" desis Alvin berdecak kesal.
Tepat dugaannya. Bia langsung tersenyum kecut. Padahal jelas-jelas ia tahu bahwa Alvin akan berkata seperti itu, tapi tetap aja ekspektasi selalu mematahkan harapan Bia membuat hatinya berdenyut sakit.
"Alvin udah makan?" Bia akhirnya memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
Saat ini, Bia dan Alvin berada di gudang belakang sekolah. Kenapa di gudang? Karna jika ditanya begitu, Alvin pasti jawab..
"Di gudang itu sepi, orang-orang gak bakal tau kalo gue sama lo masih pacaran. Seenggaknya ngurangin rasa malu gue lah, Lo tau sendiri kan? Gue malu dan terpaksa pacaran sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
DRABIA [END]
Teen Fiction"Lo siap sakit?" Dengan mantap Bia menjawab, "Aku siap! Apapun itu, aku bisa hadapi semuanya. Aku yakin kamu bisa sayang sama aku. Tinggal tunggu waktu." "Oke, gue mau jadi pacar lo." Drabia, gadis yang kerap dipanggil Bia. Dia gadis yang sangat te...