57

3.7K 120 8
                                    

Hari ini adalah hari minggu. Pagi buta seperti ini Leon tiba-tiba sudah berada di depan pintu rumah Bia. Laki-laki itu tersenyum manis saat menjumpai Bia yang saat ini hanya memakai kaos oblong dengan celana pendek membuka pintu.

"Gemes banget, makin mirip bocil," celetuk Leon membuat Bia mendengus kesal.

"Kenapa pagi-pagi udah di rumah, Bia? Janjiannya nanti siang!" protes gadis itu mempersilahkan Leon masuk ke dalam rumah.

"Biar lo gak nangis mulu dalem kamar, pagi kayak gini enak buat belajar." Laki-laki itu semalam berjanjian dengan Bia, mengajak gadis itu untuk belajar di perpustakaan. Bersiap-siap untuk mempelajari materi karena senin angkatannya sudah mulai ujian.

"Emang kapan Bia nangis? Sok tau banget, Leon!" Bia membuka camilan yang berada di atas meja, menyuguhkannya untuk Leon.

Bia memang lebih sering menangis sejak ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Alvin. Apalagi ditambah dengan Daisy yang tiba-tiba memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa. Bia jadi lebih sering merenungi dirinya sendiri karena ia takut bahwa dirinya benar-benar gila.

"Lo nangis terus kata Bik Ijah. Gue kalo jadi Bik Ijah merinding sebadan kalo malem hari dengerin lo tiba-tiba nangis."

"Kenapa gitu?"

"Suara tangisan lo mirip kuntilanak," sahut Leon terkekeh.

Bia semakin menggeram kesal. "Leon sekarang jadi makin pinter ngelawak, padahal dulu gak gini. Boro-boro ngelawak, ekspresi aja sok cuek!" sewot Bia yang merasa semakin hari Leon semakin menyebalkan.

"Itu namanya pencitraan," jawab Leon tersenyum tipis. "Udah lo mandi sana, bau lo udah masuk ke hidung gue!" Laki-laki itu bergegas menutup hidungnya bermaksud bercanda.

Bia langsung mengecek baunya sendiri, gadis itu langsung berlari kencang menuju kamar mandi dengan pipi merah malu.

"Beneran bau, ya, Bi??" jerit Leon menggoda Bia.

"ENGGAAKK KOK!!"

***

"Eh, giliran gue sekarang! Kok lo main lagi, sih?" sewot Firsa melempar tatapan tajam ke arah Dion. Sedangkan laki-laki itu malah menghendikkan bahunya tak peduli.

"Suka-suka gue, lah," cibir Dion.

"Enak aja lo! Kembaliin gak kuda lo!" Firsa mengembalikan lagi kuda milik Dion ke tempat awal, tapi laki-laki itu langsung menepis kasar tangan Firsa.

"Suka-suka gue lah, anying! Ini catur milik siapa? Milik gue, kaaannn!" Dion bersidekap dada menantang Firsa membuat laki-laki di depannya mendengus kesal.

"Ah, tau, lah. Males gue main, lo main sendiri aja!" balas Firsa berdiri dari sofa. Laki-laki itu langsung menarik kursi di samping Alvin yang masih belum sadarkan diri, lalu ia duduk disampingnya.

Dari kemarin saat mereka dikabarkan bahwa Alvin masuk rumah sakit, Dion dan Firsa tidak bisa seperti biasanya. Mereka sensitif terhadap apa yang akan mereka lakukan, lebih mudah emosi dan tidak terkontrol. Mungkin karena mereka takut akan kondisi Alvin karena laki-laki itu belum sadarkan diri hingga saat ini.

"Dih dih?! Ngambek lo sama gue? Jangan ngambekan jadi cowok lah, Fir. Pantes aja gak ada yang mau sama lo sampai sekarang," ujar Dion terkekeh pelan. Dia juga ikut duduk di samping tubuh Alvin.

Firsa mendelik tajam. "Kata siapa gak ada yang mau? Natasya tuh, mau sama gue!" sewotnya pede.

Dion langsung menoleh Firsa. "Apa?? Natasya yang jago silat itu?! Buset! Lo gak takut pas malem pertama lo yang dihabisin?!" ucap Dion tertawa terbahak-bahak seraya memukul lengan Firsa keras.

DRABIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang