39

3.3K 154 21
                                    

"Nyerah ya, Bi. Gue capek, gue risih, dan gue gak bakal bisa."

Bia melepas dekapan Alvin usai mendengar kalimat yang laki-laki itu ucapkan. "Nggak, sampai kapanpun juga Bia nggak bakal nyerah. Bia nggak masalah kalo Alvin marah terus, tapi Bia nggak mau kalo kita berakhir," balas Bia menolaknya.

"Gue nggak bisa cinta sama lo Bia, sampai kapanpun perasaan gue cuma ke Alena."

Bia langsung berdiri dari duduknya. "Bia pergi aja, ya? Bia nggak mau bahas ini yang ada makin besar masalahnya."

"Se nggak laku itu lo, Bi, sampe maksa banget buat gue cinta sama lo padahal diluar sana masih banyak laki-laki lain," lontar Alvin gemas bercampur greget.

Drabia ini sangat keras kepala, dia ngelakuin apa aja yang bisa bikin Alvin cinta sama dia. Padahal itu tidak akan mungkin terjadi.

Bia hampir meraup knop pintu, tapi ia tunda. "Bia emang nggak laku. Bia juga nggak tertarik sama laki-laki lain. Aku kan udah bilang bakal tepati janji kita dulu."

Alvin berdecak kesal. "Lo dulu janji apa, sih? Kepo gue. Lo nggak perlu tepati janji itu, gue yang suruh. Sekarang lepasin gue, lepasin gue dari hubungan gak jelas ini. Gue capek Bia, capek!" gertak Alvin geram. Kepalanya hampir pecah merasakan adanya Bia yang selalu muncul dalam kehidupannya.

Bia benar-benar sukses menyiksa batin Alvin.

"Bukan Bia yang janji," -tapi Alvin sendiri. Entah, sampai kapan ingatan kamu balik.

Bia tidak meneruskan ucapannya, gadis itu melenggang pergi meninggalkan Alvin sendiri yang terduduk di ruang olahraga.

"Kalo emang gue yang janji, gue pernah bikin janji apa sama lo Bia?" lirih Alvin menghembuskan napas panjang. Dia bahkan merasa tidak pernah berbuat janji kepada siapa pun.

"Gimana caranya gue bisa lepas dari dia sih anjing?!" umpat Alvin melempar keras bola basket yang berada di bawah kakinya.

***

"Siapa yang suruh Alena gantikan Leon lomba, hm? Memang Leon kenapa sampai tidak jadi ikut lomba?!" bentak Agra pada Laksmono. Dia terkejut saat mendengar kabar dari orang-orang bahwa Leon mundur dari lomba.

Agra langsung memanggil Laksmono, guru yang menghandle murid yang akan pergi berlomba.

"Jawab saya Pak!" tuntut Agra. Sedangkan Pak Laksmono hanya diam menunduk ditempatnya, tak berani menatap Pak Agra yang notabene-nya sebagai atasannya.

"Jangan salahkan Pak Laksmono, saya yang minta."

Leon membuka perlahan pintu ruangan Pak Agra. Laki-laki itu menepuk-nepuk lengan Pak Laksmono bak teman akrabnya sendiri membuat gurunya itu tersenyum singkat.

"Kenapa, nak? Saya sudah berharap kamu mengikuti lomba ini untuk terakhir kalinya. Lombanya sudah tinggal seminggu lagi,  kenapa harus mendadak memberitahu saya?" ujar Agra menuntut penjelasan.

"Maafkan saya, saya harus mundur dari lomba ini," final Leon berdiri disamping Pak Laksmono.

Pak Agra menghela napas berat, merasa bingung harus merespon apalagi. "Alasan kamu mundur apa, Leon? Kenapa harus Alena yang menggantikan kamu lomba? Kamu yakin dia bisa?" tanyanya lagi.

Leon mengangguk cepat. "Saya tidak bisa menjelaskan alasan saya mundur, tapi saya yakin Alena sanggup mengikuti lomba ini. Saya percaya dia."

"Leon, saya sendiri tidak yakin Alena mampu. Saya rasa Alena kurang mampu dalam materi menghitung, dia kalah cepat dari kamu nak." Kali ini Pak Laksmono yang menyahuti pembicaraan Leon.

DRABIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang