Dengan langkah mungilnya, Bia berlari dengan panik mengejar waktu, dia akan pergi ke kopsis untuk membeli topi. Pagi ini, Bia lupa bahwa sekarang akan diadakan upacara disekolahnya, dan bisa-bisanya Bia malah lupa membawa atribut topi.
"Semoga aja kopsisnya masih buka, Bia nggak mau berdiri di depan!" Gadis itu tergesa-gesa berlari, mengabaikan orang-orang yang menyumpahinya karena berani menyenggol dengan tidak sengaja.
Bia sontak menghentikan langkah dengan napas terengah. Keringat terus keluar membasahi dahinya. Bia sudah jauh-jauh berlari tapi kopsisnya tutup. Pupus sudah harapan Bia.
Hari senin memang hari paling terkutuk bagi para siswa.
Tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba seorang pria menyodorkan topi pada Bia yang sedang berusaha mengatur napasnya.
"Lo butuh ini?" ucapnya.
Bia mengernyitkan dahi, dia langsung menoleh ke arah Leon yang sudah berdiri di sampingnya tanpa Bia sadari. Bak melihat maikat penolong, bia dengan cepat menganggukkan kepalanya.
Tidak peduli siapa yang memberi ini, tapi bia benar-benar membutuhkannya. Dia berutang budi pada laki-laki di depannya ini. Ternyata masih ada orang yang peduli di sekolahnya ini.
Bia bernapas dengan sangat lega.
Bia tidak pernah merasakan hukuman selama 3 tahun dia bersekolah. Meski tidak pandai dalam hal pelajaran, tapi Bia pandai mentaati aturan. Gadis itu benar-benar tidak ingin mencari masalah sampai mempermalukan kedua orangtuanya.
"Makasih banyak, lain kali kita ketemu, ya, Bia kembalikan topinya. Sekarang Bia keburu banget takut nggak dapet barisan!" ujar Bia yang langsung menghilang dari hadapan Leon. Bia pasti akan mengingat-ingat wajahnya lagi.
Leon terkekeh kecil. "Dia lupa sama gue?" cicitnya memasukkan kedua tangannya di dalam saku. Ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sampai siswa-siswi selesai upacara.
Leon tidak akan mengikuti upacara hari ini karena dia telah memberikan topinya sendiri pada Bia. Dia juga baru kali ini melewatkan upacaranya selama dia bersekolah.
Saat ini, Bia sedang berada di barisan para siswa. Sembari melihat siswa-siswi yang dihukum di barisan paling depan, tiba-tiba Bia kepikiran tentang laki-laki yang memberikan topi padanya. Wajahnya terlihat tidak asing di matanya tapi Bia lupa dia siapa.
"Kalo aja nggak ada dia, aku mungkin udah baris di depan kayak mereka," cicitnya.
Bia mengedarkan pandangannya, celingukan mencari laki-laki yang memberikan topi padanya. Dia berharap laki-laki itu ada di barisan angkatannya.
"Muka polkadot? lo bisa diem gak?!" desis salah satu siswi yang baris di belakang Bia dengan muka kesal. "Dengerin guru di depan lagi ngomong!" imbuhnya memperingati. Bia mengangguk tanpa menoleh ke belakang.
Bia merasa laki-laki itu tidak mengikuti upacara. Dia sama sekali tidak terlihat di barisan angkatannya. Atau dia itu adik kelasnya? pikir Bia heran.
Saat sedang berpikir, tiba-tiba ada siswa yang menyikut lengannya sedikit keras. "Lo ada uang nggak?" ucap laki-laki itu pada Bia, sedikit berbisik tapi mampu di dengar oleh Bia.
Bia dengan polosnya mengangguk. Seakan paham bahwa laki-laki itu meminta uang padanya, bia langsung mengeluarkan uang dari sakunya. Memberikan selembar uang berwarna merah pada laki-laki itu tanpa keberatan. Bia hanya berusaha mencegah terjadinya masalah, meskipun ia harus mengorbankan uang sakunya.
Laki-laki itu terkekeh kecil bersama teman di sampingnya. "Liat, mudah kan gue?" tanya dia pada temannya.
"Gampang banget ternyata, lain kali lo sogok dia lagi, deh, lumayan gak usah minta uang ke nyokap!" Dia tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRABIA [END]
Teen Fiction"Lo siap sakit?" Dengan mantap Bia menjawab, "Aku siap! Apapun itu, aku bisa hadapi semuanya. Aku yakin kamu bisa sayang sama aku. Tinggal tunggu waktu." "Oke, gue mau jadi pacar lo." Drabia, gadis yang kerap dipanggil Bia. Dia gadis yang sangat te...