-27-

116 16 8
                                    

"Kun, sampai kapan lo mau diem terus sama Renjana?" tanya Aksara.

Aksara dan Kuncara sedang berada di rooftop sekolah, dimana biasanya Kuncara menghabiskan waktunya sendirian.

"Nggak tahu Sa. Gue nggak punya pilihan. Gue nggak mau lihat Renjana menderita gara-gara ada gue di hidupnya," balas Kuncara pasrah atas apa yang akan semesta kerjakan padanya.

"Tapi Kun, kalau kaya gini caranya, lo sendiri yang buat Renjana menderita," Aksara mencoba menyadarkan apa yang selama ini dilakukan Kuncara.

Maksud dan tujuan Kuncara yang awalnya baik tidak akan pernah sampai dengan baik-baik jika dikerjakan dengan cara yang salah.

"Lalu gue harus gimana Sa? Gue harus apa biar Renjana berhenti temenan sama gue."

Kuncara tidak lagi bisa berpikir. Belakangan ini pikirannya dipenuhi oleh sosok gadis yang ia sayangi itu. Ia rindu sekali bisa leluasa berbicara dengan Renjana. Ia rindu sekali membuat Renjana tertawa.

"Berhenti temenan sama Renjana bukan solusi Kun. Harusnya lo buktiin ke orang-orang, kalau lo pantes buat Renjana," balas Aksara mencoba memberi solusi.

"Gue sadar diri Sa. Kaya gitu, cuma buat gue makin dihina. Kaya gitu, cuma buat Renjana makin direndahkan."

Kuncara masih ingat kejadian di parkiran beberapa hari lalu, disusul dengan perkataan sahabat Renjana sendiri. Ia tidak tahan. Ia tidak sanggup melihat Renjana harus dimaki-maki seperti itu.

"Lo terlalu rendah diri Kun. Padahal lo sebenarnya nggak serendah itu," kata Aksara. Perkataan yang entah sudah berapa kali Aksara pernah beri. Kuncara selalu rendah diri. Memandang setiap masalah yang muncul berkat adanya dirinya di dunia.

"Itu faktanya Sa."
Dan jawaban yang tak pernah berubah sejak dulu.

"Lo masih sayang nggak sih Kun sama Renjana?" tanya Aksara mencoba menyadarkan Kuncara lewat jalan yang lain.

"Nggak usah lo tanya Sa. Keadaan kaya gini bikin gue sakit juga lihat Renjana terluka. Tapi gue udah nggak tahu harus apa lagi,"balasan Kuncara, yang sebenarnya Aksara sudah duga sebelumnya. Bahwa Kuncara pasti ikutan terluka dengan sikapnya sendiri.

"Kalau lo sayang sama Renjana. Bikin dia bahagia. Peduliin dia. Bukan malah bikin sedih. Renjana nggak butuh kata-kata semua orang. Renjana nggak akan peduli dengan apa yang orang lain katakan. Dia cuma butuh lo. Satu-satunya kata-kata yang bikin dia bahagia dan lebih baik datangny dari mulut lo Kuncaraa."

Aksara berharap dengan kalimatnya ini, menumbuhkan kesadaran di hati sahabatnya itu. Agar yang dilihat bukan hanya dirinya yang rendah saja tapi juga bagaimana dia mampu membuat Renjana bahagia.

"Tapi Saa. Gue bener-bener nggak pantes sama Renjana. Renjana sudah terlalu sering gue bikin nangis. Gue cuma sampah masyarakat. Renjana terlalu berharga untuk sampah kaya gue."

Tapi Aksara keliru. Semua itu sama sekali tidak membantu karena Kuncara terlanjur tak lagi mengenal apa itu percaya diri.

"Gue nyerah Kun, nasehatin lo. Gue cuma minta lo berhenti diemin Renjana."

Aksara menyerah. Tidak tahu apa yang harus ia katakan esok hari pada Renjana karena nyatanya hasil yang ia dapatkan sia-sia.

"Gue bisa berhenti diemin Renjana, berhenti menjauh dari dia, asal lo mau bantuin gue," ucap Kuncara.

Aksara yang sudah pasrah kembali berharap. Tidak terlalu sia-sia juga ternyata seluruh apa yang coba dirinya katakan dari tadi.

"Hah? Bantu apa?" tanya Aksara bingung. Mengapa justru dirinya diikutsertakan dalam masalah mereka berdua.

TEMARAM (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang