9. Perth

420 65 14
                                    

Mata Mawin memerhatikan anak laki yang duduk dengan tidak nyaman di depannya. Segala gerakan yang laki-laki ini buat Mawin perhatikan dengan lekat, seolah takut ia melakukan hal-hal aneh. Padahal Perth hanya menggaruk bagian tubuhnya yang gatal atau merubah posisi duduk. Perth bahkan tidak berani memainkan ponselnya.

Mawin menghela napas mendramatisir sambil bersandar pada sofa.

"Jadi, Perth Tanapom?"

"Tanapon, Kak."

"Ya, Perth Tanapon terserahlah. Saya gak akan nanya kamu kuliah di mana, semester berapa, orang tua kamu kerja apa, gimana latar belakang keluarga kamu atau sejenisnya. Yang saya mau tanya cuma kenapa kamu deketin Mark?"

Perth mengerjap-ngerjapkan matanya. "Gak boleh ya, Kak?" Tanyanya polos.

"Aku mau deket sama Kak Siwat ya karena pengen deket. Kalo ditanya alasannya apa ya aku bingung jawabnya, Kak." Lanjut Perth dengan jujur.

Mawin kembali menegakkan duduknya. "Oke, kita buat ini lebih simple aja. Kamu gak ada niat buat nyakitin Mark, kan?"

Perth terbingung. "Nggak sama sekali Kak. Akuㅡ"

"Oke cukup. Saya pegang kata-kata kamu. Kalo kamu sampe nyakitin Mark, kamu langsung berhadapan sama saya. Ngerti?"

Perth hanya mengangguk pelan. Susah payah ia meneguk ludahnya.

"Kalo kamu udah ada kepikiran buat nyakitin Mark, lebih baik jauhin dia dari sekarang. Jangan kasih dia harapan yang gak pernah bisa kamu tepatin. Karena kalau udah sayang sama orang, Mark gak pernah mikirin dirinya sendiri."

"Tenang aja Kak, kalau nantinya aku berhasil buat Kak Siwat sayang sama aku, aku akan lebih mikirin Kak Siwat lebih dari dia mikirin aku." Jawab Perth dengan lantang. "Semua ketakuan Kakak gak akan terjadi."

Mawin memerhatikan seluruh wajah Perth dengan tajam. Mencoba mencari kebohongan atau kata-kata basa-basi di wajah anak itu seperti yang sudah-sudah.

"Tanapon,"

Perth langsung menoleh ke sumber suara. Di sana mamanya Mark berdiri sambil tersenyum. "Ke kamar Mark gih, Mark udah nungguin."

"Iya, mama. Perth ke sana. Permisi Kak." Perth pun meninggalkan ruang tamu sambil sedikit membungkukkan tubuhnya saat melewati Mawin yang duduk.

"Mama katanya?" Tanya Mawin yang hanya mendapatkan senyuman dari mamanya.

Mama Mark mendekati anak pertamanya itu lalu menepuk-nepuk pelan pundaknya. "Jangan terlalu keras. Gak semua orang mau nyakitin Mark. Kalo kayak gini, kamu yang lebih mirip punya trauma daripada Mark."

"Kayaknya emang bukan cuma Mark yang trauma, Ma."

"Biarin Mark milih orang-orang di hidupnya sendiri. Mama yakin dia udah belajar dari pengalamannya. Kasih adik kamu kepercayaan, ya?"

Mawin akhirnya mengangguk pelan dengan tangannya menggenggam tangan mamanya di pundaknya.

.

.

Begitu Perth masuk ke kamar Mark yang terbuka, ia melihat Mark sedang bercanda dengan Blue. Sejak pertama Perth melihat Mark dengan Blue, ia tidak bisa untuk tidak cemburu. Sekecil apapun rasa cemburu itu, tetap tidak enak. Tapi Perth percaya kalau Mark hanya menganggap Blue sebagai teman dekatnya, seperti ia dengan Plan.

Perth tersenyum selebar mungkin saat matanya bertemu dengan mata sayu Mark.

"Hai Kak Siwat,"

"Hei,"

Kak Siwat [PerthMark]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang