"Bb-baiklah..." lirihku menggumam tangis. Mama Drista tampak mengangguk senang. Dan tersenyum hangat padaku."Syukurlah kamu mau mengerti, dia sama sekali tak pantas mengemban tanggung jawab ini, hidup dengan keluarga konyol seperti kalian dan ya, yang terpenting kamu dan dia itu sangat jauh berbeda, kamu bukannya anak pemilik tambak lele bukan?, sedangkan Iki itu putra mahkota di istana tuan Burhan, kamu tidak tau saja kekaya'an kami yang di singapore seperti apa, jadi jangan berharap banyak setelah ini. Selamatkan Iki dan kirim dia kesingapore." jelasnya. Aku mendegup dan coba memandang wajah mertuaku itu lekat.
"Aye akan lakukan itu untuk kebaikan Iki, tapi tidak akan ada yang merubah perasa'an dan cinta diantara kami. aye mampu berpisah jarak dengannya. Tapi tidak akan ada yang bisa menghapus ikatan ini, sebelumnya. Aye tidak tau Iki itu putra mahkota di istana mamah, yang aye tau dia suami aye mah, ikatan ini sangat erat. Baik mama atau siapapun juga gak akan bisa melepaskannya. Aye Istrinya aye tau yang terbaik untuknya" jelasku dengan mata yang berkaca-kaca. Sedikit wanita itu memandangku datar.
"Yang terbaik untuknya adalah melanjutkan studynya dan menjauh dari sini, kamu tau kan bahaya apa saja yang bisa terjadi disini." ucapnya datar dengan sedikit berbisik. Aku mendegup dan tertunduk coba membalik hendak pergi. Namun langkahku kembali ia hentikan.
"Aku rasa, aku cukup mempercayaimu Lis? Aku menunggu keputusan Iki untuk mau pergi bersamaku ke singapore "ujarnya, sedikit aku hela nafas sesak dan beranjak tanpa kata sepatah katapun lagi.
Malam semakin larut. Kami kembali pulang kerumah. Sepanjang jalan aku selalu diam dan gundah melihat wajahku yang seperti itu sontak saja Iki terheran.
"Mun? Ada apa?" tanyanya, aku menghela nafas dan menoleh dengan memaksakan senyum.
"Aye kagak apa-apa ki." singkatku hingga akhirnya kami sampai juga dirumah. aku masih tetap diam berjalan kekamar Iki tampaknya juga diam mencoba membiarkanku sendiri. Dia coba bukak sepatunya sendiri. Dan melepas jacketnya sedikit aku lirik suamiku itu. Karna biasanya dia minta tolong padaku melepas pakaiannya.
"Sayang... Kok gak minta tolong." ujarku menoleh padanya. Sedikit Iki turunkan kaos yang menutupi wajahnya.
"Abis lu keliatan bete bat, ada apa sih?" ujarnya. Aku tersenyum dan sontak mendekat padanya.
"Aye kagak apa-apa Ki, aye cuma capek." ucapku sembari membantu melepas kaosnya. Iki senyum sembari meraih pinggangku. Aku terkekeh dan coba mendorong pelan dadanya.
"Bentar aku ambilkan piyamanya dulu." ujarku beranjak kelemari. Iki tampak manyun menunggu menghenyak di kasur. Aku masih diam saat coba memakaikan piyama tidur Iki di badannya.
"Kamu harus biasakan sendiri Ki, suatu saat pasti ada waktunya kita berpisah." ujarku, sedikit bocah itu menautkan alisnya.
"Lu ngomong apa sih? Kita gak akan terpisah. Sampai kapanpun gue gak akan pernah mau pisah dengan Lu." ujarnya, sedikit mataku berkaca-kaca menghenyak di samping ranjang memakaikan satu persatu kancing bajunya.
"Kita tidak tau kedepannya sayang, ya sudah berbaring, biar di ganti tu celana lu." ujarku Iki nurut dengan girang berbaring. Aku hanya bisa geleng-geleng.
"Hati-hati tante... Jangan nakal, tapi kalo nafsu gas ajah pasrah kok gue." ujarnya aku terkekeh sembari mencubit pahanya.
"Ini yang terakhir ya Ki, aye melepas dan mengganti pakaianlu mulai besok, lu harus biasakan semuanya sendiri lagi." ujarku tetap fokus pada gerakanku. Iki terlungkup saat aue balik paksa badannya memasang piyama tidur.
"Tapi kenapa Mun..., kan enak gini bisa mesra-mesra'an" ujarnya bicara membenam dalam bantal.
Pluk..
Bunyi karet celana piyama di pinggangnya aku tarik keras.
"Awh... Sakit tante." teriaknya.
"Karna lu udah gede, bentar lagi bakalan jadi bapak." timpalku spontan Iki reflek duduk dengan wajah nanar.
"Apa itu beneran?" tanyanya, aku terkekeh.
"Belum sih, cuman bakalan kan? Dah bisa gituan bisa membuahi juga donk? Kecuali juniorlu itu Zonk Ki..." geram ku mencubit pipinya. Iki terkekeh.
"Mana ada Zonk..., lu liat aja bentar lagi." singkatnya kembali menghenyak di kasur.
"Emang lu pernah coba?" ujarnya, Iki menoleh dan sontak menggeleng.
"Lu ngomong apa sih Tante,gue coba sama siape? Lu tu udah curi masa puber sama masa tua gue, mana sempat gua awe'wean ama yang lain." gerutunya aku tersenyum simpul. Dan sontak wajahku berubah. Iki benar aku sudah curi banyak wakti anak ini untuk hidup berumah tangga denganku.
"Ye pan, mana tau." gerutuku. Iki menarik pinggangku untuk bisa lebih dekat dengannya. Sedikit ia elus perutku dan berkata.
"Gak sabar aye sumpah..." lirihnya aku tersenyum. Hatiku terasa hangat entah kenapa aku merasa tak punya banyak waktu lagi untuk selalu berdua dengannya. Aku mengelus pipi mulusnya dengan lembut Iki tersenyum saat aku mengelus-ngelus pelupuk mata hingga belahan rambutnya. Binar mataku terasa berkaca-kaca hingga aku kecup bibirnya dengan manis, aku tidak tau apakah nanti aku masih bisa memadu kasih dalam cumbuan seperti ini. Iki membalas setiap kecupan itu. Hingga kembali aku melihat manik matanya. Tak terasa air mataku merintik.
"Tante? Ada apa? Kenapa menangis?" ujarnya sedikit aku tertunduk dan meremas piyamanya.
"Aye.... Cinta banget sama Lu ki.. Hiks" tangisku. Iki tersenyum mendongakkan wajahku kedalam matanya.
"Iya gue juga cinta amalu, kenapa sih? Musti mewek?" ujarnya. Aku menelan tangisku saat Iki menghapus air mata itu lembut. Kembali pria itu mengecup setiap sisi wajah hingga leherku dan mengabsen seisi mulutku dengan lidahnya, aku ingin meresapi setiap rasa yang akan kami bingkai menjadi sebuah kenangan ini, detik-detik indah ini yang akan sangat aku rindukan nanti.
Yuuuuuuhuuuuu...
Gimana masih menarik gak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH!
RomanceSelisih umur kagak tanggung-tanggung 9 tahun, Saat nanti Muneh ribetin uban di kepalanye, lah Aye ribetin buat nyari yang lebih bohay