"Mm-maksud kamu apa Lis?" tanyaku lagi memasang wajah tanpa dosa."Kamu selama ini tau? Mamamu masih hidup?" tanyanya lagi sedikit pelan dengan menatapku datar. Aku menghela nafas dan coba mengepal jemariku di tangan.
"Mamamu itu peneror di keluarga kalian? Dan selama ini kamu diam saja? Kenapa sembunyikan ini dari kami semua?" ujarnya tak habis pikir.
"Bagaimanapun dia itu ibu saya Lilis, saya tidak ingin dia celaka, baik mama Drista ataupun Mama. Mereka sama-sama kuat. Aku hanya ingin tidak ada kekacauan." ujarnya.
"Tapi kamu pasti bisa, meyakinkan mamamu kan Van?" ujarnya lagi. Aku menghela nafas dan reflek menggeleng.
"Sulit Lis," singkatku dengan Lirih.
"Sekarang katakan dimana mama kamu berada." ucapnya dengan tertekan. Aku mendegup dan coba diam sejenak.
"Buat apa?" ujarku.
"Mama Laras, dia keterlaluan. Haruskah dia meneror Iki dan Vano hanya karna dendam. Aku mau bilang sama dia. Kalo dia harus hentikan semua ini. " ucapnya gemetar.
"Semua akan baik-baik saja Lilis. Percayalah? Aku tidak pernah mendukung mama atas apa yang dia lakukan. Hanya saja aku diam. Karna aku belum sanggup lihat mama di penjara?" ujarku. Nafas Lilis tampak tersengal dan berkata dengan terbata.
"Apa yang kamu tunggu? Kamu menunggu salah satu dari saudara mati dulu? Atau seluruh keluarga itu? Mama sudah berani meledakkan Bom Revan? Itu terlalu niat. Dia tidak bisa didiamkan saja!" bentaknya. Aku menghela nafas dan berkata.
"Aku akan bicara sama Mama Lis? Aku mohon tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa" ujarku. Lilis menghenyak duduk sembari mengatur nafas.
"Aku pergi dulu.." singkatku. Lilis hanya diam tak bergeming bahkan enggan menatap wajahku. Aku berlalu pergi menuju mobil.
Drrrrrt Drrrrrrt.
Sedikit aku tersintak karna ponsel di genggamanku berdering. Bergegas melihat siapa yang telpon. Kembali aku tersintak melihat mama yang ada di telpon."Ya ma" singkatku.
"Revan tolong jangan diamkan mama, mama bersumpah bukan mama pelakunya?" ujarku.
"Bisa kita bertemu mah, Revan. Mau bertemu mama " singkatku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Baik sayang dimana?" tanyanya.
"Di cafe tempat biasa mama mengirim kado untuk Revan?" ucapku pelan.
"Okey baik nak. Mama sangat takut kalo kamu akan salah paham sama mama." ujarnya. Reflek aku mematikan panggilan itu dan coba mengotak atik kontak telpon menghubungi nomor lain.
Sesampai disana. aku melihat mama sudah menunggu di meja nomor 9 paling sudut. Aku menghampirinya dengan langkah gontai.
"Mah.." lirihku. Sontak orang tuaku itu berdiri dan memelukku.
"Sayang, syukurlah. Kamu mempercayai mama. Mama gak mau kamu salah paham Van. Mama tidak tau menau akan kasus ledakan itu" ujarnya. Sedikit aku dorong bahu mama dan berkata padanya dengan berar hati.
"Mama, maaf. Revan tidak bisa diam lagi." ujarku mata mama membulat melihat manik mataku. aku menoleh kearah pintu. Dan menyuruh polisi masuk.
"Sayang? Kamu lakuin ini sama Mamah? Kamu tega masukin mama ke penjara?" ujarnya dengan air mata merintik aku mendegup dan coba melepaskan cengkraman mama di kemejaku. Sementara mama beronta di seret oleh polisi.
"Revan harus lakuin ini mah, mama sudah sangat keterlaluan!" ujarku tertekan beranjak dari sana.
"Gak.. Revan! Kamu salah besar melakukan ini. Mama tidak salah. Drista. Dia yang lebih jahat. Dia membunuh mama. Dan Bibikmu?" teriaknya. Aku terus saja berjalan dengan berat hati aku menjauh dan membiarkan polisi menangani segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH!
RomanceSelisih umur kagak tanggung-tanggung 9 tahun, Saat nanti Muneh ribetin uban di kepalanye, lah Aye ribetin buat nyari yang lebih bohay