Ikut?

240 23 2
                                    


"Syitss Sial..." geramku melempar kertas naskah. Aku gak bisa fokus untuk shotting karna terganggu dengan kuputusan Mumun kemarin yang bikin aku kesal, kenapa bisa dia tiba-tiba menyuruhku untuk kuliah dan meninggalkannya disini.

"Ki buruan, dah siap belum?" ucapnya aku menoleh sembari melirik kertas yang telah ku buang.

"Gak bisa, aku gak bisa fokus sekarang." ujarku. Mumun tampak berdesih dan mendekat.

"Kamu harus selesaikan ini cepat Ki, kita gak punya banyak waktu untuk di ulur-ulur lagi Shottingnya, kemarin juga dah libur sementara kamu harus berangkat bareng Vano se-" ucapannya aku cegat.

"Gue tidak akan kemana-mana." tegasku. Mumun mendegup dengan menatapku dalam.  Namun sepertinya dia tidak mau bahas dan coba mengalihkan pembicara'an.

"Cepatlah, semua menunggu Lu Ki." ucapnya beranjak. Aku kesal melihat sikapnya.

Plak

Reflek aku menimpuk meja.  Sedikit rahangku tergetakkan karna kesal akan sikap kekeh Mumun yang menyuruhku pergi.

Sore berkunjung seharian menjalani Shotting membuat aku lelah hingga tiba waktunya kami berdua kembali lagi kerumah enyak. Setelah melepaskan penat sebentar. Terdengar bunyi ponselku berdering. Sedikit aku beringsut untuk menjanggkau ponselku. Bisa aku lihat Mumun masuk kekamar. Aku mengangkat panggilan itu sembati tetap memperhatikannya.

"Haloo?" ujarku.

"Halo Ki, ini gua?Vano? Kata mama Lo bakalan bareng gua ke singapore? Itu benaran?" tanyanya. Aku mendegup sembari memperhatikan Mumun menurun-nurunkan koper yang ada di atas lemari.

"Kata siapa gak tu?" singkatku.

"Tapi kata Mama, Mumun gak apa di tinggal?" ujarnya aku menghela nafas berat.

"Aku yang gak akan ninggalin dia. Udah ya. Aku telpon lagi nanti." ujarku mematikan ponsel. Reflek aku buang ponsel itu dan mendekat pada Mumun.

"Lu ngapain " desisku. Mumun tampak fokus dengan aktifitasnya tanpa menoleh padaku.

"Ini, Gue mau packing-packing lu kan berangkatnya satu minggu lagi. Sementara kita juga sibuk menyiapkan Shotting lu, jadi aye coba kemasi dari sekarang biar gak ada yang kelupa'an." ujarnya. Aku mendegup dan menggertakkan gigiku kesal reflek menyeretnya berdiri. Dia masih diam saat melihat tatapan mata kesalku.

"Apa mama yang menyuruh lu? Lakuin semua ini?" tanyaku, Mata Mumun dalam menusuk ke manik mataku. Dia nanar sembari menggeleng dan berkata tidak.

"Kagak, aye benaran Lu mau kuliah. Dan ye, ini juga ada untungnye buat aye, lu dapet gelar aye juga bangga Ki, dan tentunye anak-anak kita nanti." ujarnya dengan memaksakan senyumnya. Aku heran dan tak habis pikir melihat tingkahnya.

"Gue gak akan pergi." tegasku lagi. Mumun tertunduk lugas coba menjangkau koper itu lagi. Aku berdesih menghela nafas sesak dan menghenyak diatas kasur berulang kali aku usap wajahku tak habis pikir dengan keputusan Mumun. Melihat kegundahanku. Mumun mendekat dan menghenyak duduk disampingku. Dia menjangkau pipiku dan membawanya kedalam tatapannya. Bisa aku lihat binar matanya berkaca-kaca.

"Gue sayang sama lu Mun? Lu jangan ngada-ngada? Nyuruh gue pergi." lirihku tertekan. Bisa aku lihat air mata Mumun menetes juga.

"Boleh aye bilang sesuatu? Aye juga sayang banget ame lu melebihi Lu Ki, lu tau. Nyawalu dalam bahaye, Peneror yang hendak membunuh Vano itu dia juga juga mengincar Iki laki aye.?" jelasnya, alis mataku menaut melihat air matanya.

"Kenapa? Kenapa dia mengincar gua?"tanyaku tak habis pikir. Kembali Mumun mengelus pipiku lembut.

"Kata bapak sih dendam Ki, jadi Mamanya Vano itu selama ini menghilang karna di anggap telah meninggal tapi dia masih ada, bahkan dulu. Dia berniat membunuh Iki dengan menyuruh pekerjanya tak lain bapak Ki, untung bapak sayang ama lu dan membawa lu pergi, saat dia tau lu masih hidup dia akan berusaha terus. Kita juga tidak tau dia dimana?, polisi juga menemukan keberada'annya." ujarnya, untuk sejanak aku terdiam. Mumun tertunduk sembari menggenggam jemariku erat. Air matanya terus saja mengucur sembari mengecup punggung tanganku. Hatiku sakit melihat kegundahannya.

SUAMIKU BOCAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang