Draco berdiri diam di depan permadani hias koridor lantai tujuh. Hamparan dinding kosong di hadapannya mempresentasikan pikirannya saat ini. Lukisan troll menari balet di belakangnya seolah mengejek. Saat ini Draco benar-benar ada diambang keputusasaan. Perasaannya hampa dan pikirannya melayang entah ke mana, seperti orang linglung.
Seusai kabur dari Hospital Wing, Draco bergegas pergi ke kamarnya yang berada di asrama Slytherin untuk membersihkan diri sekaligus berganti pakaian. Selama berada di sana, ia tidak berbicara sepatah kata pun dengan orang lain, bahkan ketika Blaise dan Theo mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan kekhawatiran.
"Dari mana kau, Drake?"
"Apa yang terjadi? Kenapa kau sangat pucat. Kau memang pucat, tapi—maksudku ini berbeda."
"Mau ke mana kau?"
"Hei, apa kau mendengarku?"
Dirinya benar-benar sudah tidak peduli dengan siapa atau apa pun sekarang. Yang ia pikirkan hanya satu, menuntaskan segala yang harus ia tuntaskan malam ini lalu bergegas melarikan diri. Bahkan, sosok Hermione pun terbang menghilang dari benaknya. Sekarang tak ada yang mampu meredam keinginan keliru yang kini membujuk untuk segera terlaksana.
Draco mengerjap pelan, berhenti sejenak dalam sekian detik memejamkan mata. Ia menarik napas berat panjang dan mengeluarkannya dengan keluhan pelan. Kakinya kembali bergerak, melangkah bolak-balik sebanyak tiga kali sembari berkonsentrasi meminta ruangan yang dibutuhkannya.
Tak butuh waktu lama, akhirnya muncul garis-garis halus yang semakin lama semakin tegas membentuk pintu lengkung besar yang terbuat dari kayu berat. Seketika aura magis bercampur kegelapan menguak dari dalam ruangan ketika tangan Draco menarik knopnya dan berjalan masuk, menghilang di balik pintu yang kini lenyap tak berbekas, berubah kembali menjadi dinding batu keras yang dingin.
Udara sesak langsung menyambut Draco dengan ramah. Ia berhenti sejenak untuk mengamati sekitar, lalu berjalan kembali menelusuri koridor yang terbentuk dari tumpukan barang yang menjulang bak menara-menara tinggi. Gema langkah kakinya terdengar berat, cenderung sedikit menyeret. Pada tikungan terakhir, Lemari Pelenyap berdiri menghadangnya.
Draco membelai benda magis itu sejenak. Lapisan debu dalam sela-sela ukiran Lemari tersebut menempel rekat di jari tangan halus miliknya. Dari permukaan Lemari itu, ia dapat merasakan gairah Pelahap Maut yang belum pernah ia miliki sebelumnya. Campuran antara haus kekuasaan, kekejaman, serta ketidakpedulian merambat memengaruhi hati.
Tanpa menunggu lama lagi, Draco menarik perlahan tongkat sihir yang tersembunyi di dalam saku celananya. Tangannya gemetar hebat. Keringat dingin membasahi pelipisnya yang berdenyut. Lidahnya kaku hendak mengucap mantra. Pada titik ini ia merasa lemah tak berdaya.
"Lakukan, Draco!"
Draco seperti mendengar suara bisikan dalam Kamar itu. Bukan—lebih tepatnya suara itu terdengar di dalam kepalanya, berbicara kepada dirinya sendiri.
"Sekarang, Draco!"
Suara seperti desis ular itu membuat kepalanya semakin sakit, seperti parasit pemakan otak manusia.
"SEKARANG!"
Draco membisikkan sebuah mantra dan cahaya hijau-kehitaman memancar keluar dari ujung tongkatnya. Seperti asap, cahaya tersebut melebur dengan udara dan menghantam Lemari dengan kuat. Sejenak lemari tersebut bergetar halus kemudian terdiam. Tak ada apa pun yang terjadi. Namun, Draco tahu bahwa Lemari tersebut sudah berhasil ia perbaiki. Tanpa disadari ia bersorak bahagia.
"Siapa itu?" kata sebuah suara, mengejutkan Draco. Perasaan bahagia dalam dirinya lenyap begitu saja. Ia menoleh panik dan langsung bersembunyi di balik patung berbentuk aneh yang sudah bopeng di beberapa bagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Draco Malfoy: The Boy Who Has No Choice
Fanfic[COMPLETED] "Aku ingin kau membantuku," ucap Draco pada akhirnya. Draco menyingkap lengan kemeja sebelah kiri. Betapa terkejutnya Hermione mendapati tanda berbentuk tengkorak dengan ular yang terjulur keluar dari mulutnya terukir jelas di lengan pem...