Sebuah jentikan kecil dari tangan pemegang tongkat membuat pagar besi yang tadinya seolah tanpa pintu kini meliuk bak ular, membuat pagar tersebut seolah bayangan yang mudah dilewati begitu saja. Seusai Draco Malfoy melewatinya, gerbang itu kembali meliuk dan dengan bergeming berubah menjadi gerbang besi tak berpintu seperti sebelumnya.
Pemandangan luar biasa kini menyambutnya. Jalan setapak lurus yang tersusun dari bata rapih berkualitas tinggi yang mengarah ke sebuah Manor megah. Yap, Malfoy Manor-tempat tinggal keluarga Malfoy turun-temurun. Manor tersebut terlihat megah namun terkesan kelam meskipun dilatarbelakangi langit cerah musim panas. Di halaman terdapat sebuah air mancur dengan desain sederhana dengan emblem keluarga Malfoy terpampang berkilau diterpa sinar matahari. Di sekitarnya terdapat beberapa ekor merak putih kegemaran Lucius Malfoy yang seolah menyambut kedatangan Draco.
"Draco," panggil seorang wanita berambut pirang panjang yang keberadaannya tak disadari oleh pemuda itu.
"Mum," balas Draco sembari menghampiri wanita yang ia panggil 'Ibu' tersebut.
Wanita itu cantik meskipun kulitnya sedikit pucat. Wajah aristokratnya cukup membuat siapapun menyadari bahwa ia adalah keturunan keluarga bangsawan Darah-Murni, pola wajah yang sebagian besar diturunkannya kepada Draco.
"Jika Mum memanggilku hanya untuk memberiku sebuah ceramah panjang, maka aku akan pergi," kata Draco dengan agak kurang ajar.
Namun Narcissa Malfoy hanya diam. Matanya sedikit bengkak dan merah. Segera ia peluk erat putra semata wayangnya tersebut dan ia pun kembali menangis.
Ekspresi Draco sangat datar. Bahkan ia tak mampu membalas pelukan ibunya tersebut. Ia tak mampu mengucapkan kata-kata penghiburan untuk menenangkan wanita yang telah melahirkannya itu. Draco tahu bahwa semenjak ayahnya, Lucius Malfoy, tertangkap ketika penyerangan besar-besaran di Kementerian Sihir dan terbukti sebagai Pelahap Maut sehingga diberi ganjaran mendekam di Azkaban, ibunya tak berhenti menangis. Ditambah lagi kemarahan Voldemort yang membabi-buta sehingga menyebabkan dilantiknya secara paksa Draco Malfoy sebagai Pelahap Maut, membuat perasaan Narcissa semakin sesak. Draco Malfoy digunakan Voldemort sebagai hukuman atas kegagalan Lucius mendapatkan ramalan mengenai dirinya dan Harry Potter.
"Mum akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkanmu, untuk membantumu," isak Narcissa di bahu anaknya. Di dekapnya wajah putranya yang semakin cekung dan pucat. "Kau tak usah takut, tak usah. Ibu akan mencari bantuan."
Bibir Draco terkatup rapat. Ia hanya bisa memandang wajah ibunya dengan nanar. Jujur Draco terlalu malu untuk mengakui bahwa ia terlalu lemah untuk tugas yang diberikan Voldemort. Membunuh seorang penyihir yang bahkan Pangeran Kegelapan pun tak mampu melakukannya. Ia tak akan mendapat kesempatan bahkan untuk berada dekat dengan Dumbledore.
"Severus. Ibu akan pergi menemui Severus Snape, Draco. Aku yakin dia akan bersedia membantumu melakukannya. Dan setelah kau berhasil, kita sekeluarga akan kembali normal," kata Narcissa dengan mengusap lembut kedua pipi putranya. "Kau akan menjadi penyihir biasa yang bebas seperti dulu lagi."
"Tidak," Draco membuka mulutnya. "Aku akan melakukannya sendiri. Jangan samakan aku dengan Ayah, Mum. Aku mampu. Aku tak memerlukan bantuan Snape atau siapapun."
"Oh, Draco," Narcissa jatuh tersungkur dan menutup wajahnya yang penuh air mata. Kakinya terasa lemas, tak bisa membayangkan ketidakmungkinan putranya dengan leluasa bisa membunuh Dumbledore.
"Jangan meratap dengan lemah seperti seorang squib, Cissy," kata seseorang yang berada di belakang Draco. "Berbanggalah seperti Draco. Aku yakin bahwa keponakanku tersayang bisa melakukannya." Bellatrix membelai lembut punggung Draco dan berjalan maju menghampiri adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Draco Malfoy: The Boy Who Has No Choice
Fanfiction[COMPLETED] "Aku ingin kau membantuku," ucap Draco pada akhirnya. Draco menyingkap lengan kemeja sebelah kiri. Betapa terkejutnya Hermione mendapati tanda berbentuk tengkorak dengan ular yang terjulur keluar dari mulutnya terukir jelas di lengan pem...