Chapter 23

1.3K 157 25
                                    

Hari pertandingan Quidditch merupakan saat yang dinanti oleh seluruh penghuni Hogwarts, terutama bagi dua asrama yang hendak bertanding pada hari itu. Seolah menjadi tradisi, kedua asrama tersebut saling melempar aura permusuhan sejak seminggu sebelum pertandingan berlangsung.

Slytherin—asrama yang notabene memang tak pernah akur dengan ketiga asrama lain, agak menciut karena kalah telak dengan Gryffindor di pertandingan lalu. Namun, sifat angkuh mereka tetap dijunjung tinggi-tinggi, meskipun harus menahan sedikit malu dengan hujatan dari Ravenclaw yang menghantam setiap anggota asrama ular yang berusaha menindas elang.

Daripada menemani Blaise yang sibuk memandang bayangannya sendiri di depan cermin selama hampir satu jam, Draco memutuskan untuk duduk bertiga dengan Crabbe dan Goyle di depan perapian. Ruang Rekreasi Slytherin sudah hampir kosong, mengingat kali ini adalah pertandingan asrama mereka melawan Ravenclaw, mayoritas penghuni asrama yang kelewat antusias memutuskan untuk berangkat lebih awal ke Aula Besar untuk mengisi 'amunisi'.

Crabbe dan Goyle saling bertukar pandang bingung menghadapi Draco yang tetap mematung di tempatnya. Pandangannya begitu kosong dan redup. Tanpa orang lain tahu, pemuda itu sedang terngiang dengan percakapan terakhir antara dirinya dengan Hermione beberapa hari yang lalu saat di Hospital Wing.

"Kau gila? Apakah minuman beracun itu memengaruhi otakmu?" Draco berkata sengit untuk menutupi keterkejutannya akan perkataan Hermione yang sangat tepat sasaran.

"Tidak perlu semarah itu untuk menjawab ya atau tidak," kata Hermione dengan tegas meski suaranya masih terdengar lemah. "Aku hanya bertanya."

"Nada bicara dan sorot matamu jelas-jelas menuduh," Draco menarik tangannya, "lagipula untuk apa aku memberikan racun kepada profesor tua itu? Apakah kau mempunyai bukti nyata bahwa itu aku?"

"Barangkali kau melakukannya demi kelancaran misimu membunuh Kepala Sekolah," kata Hermione dengan sedikit gagap.

Bukan karena tatapan dan intonasi Draco yang membuat Hermione mengkerut, tetapi hati kecilnya sedikit merasa bersalah karena langsung menuduh Draco tanpa bukti yang jelas selain teori yang terlintas sejenak di kepalanya.

"Kau pikir aku bodoh?" Draco mendengus. "Aku tak akan melakukan hal rendahan seperti itu untuk melancarkan misiku. Kau bilang itu aku karena orang yang kau anggap iblis di sekolah ini hanya aku, kan?"

Hermione mengerjap. "Ya, jika kau memang benar-benar ingin membunuh Profesor Dumbledore."

Draco menggeleng dengan dramatis. Senyumnya sendu, seperti cuaca di luar yang semakin kelam. Perasaannya begitu sakit, padahal menurutnya pula tidak perlu merasa seperti itu. Hermione benar dan ia salah. Justru kenyataan itu membuatnya sakit hati. Perasaan yang sulit dijelaskan oleh kata-kata dan tak mungkin orang lain mengerti.

"Kau gila, Granger!" umpat Draco. "Tidak—bukan kau yang gila, tapi aku. Penyebab aku merasa gila adalah kau. Kau merusak segalanya. Kau hadir begitu saja dalam hidupku, membuatku menjadi Malfoy yang pecundang, yang menaruh perasaan lebih kepada gadis Darah-Lumpur sehingga tersugesti bahwa apa yang kutempuh saat ini salah."

"Malfoy..."

"Aku juga bodoh. Bodoh sekali karena telah percaya kepadamu. Seharusnya dari awal kau tak pernah terlibat. Selamanya—bahkan ketika ular dalam diriku mati—kau tak akan pernah percaya padaku. Bodoh sekali aku telah mencintai gadis seperti dirimu."

"Malfoy..."

"Terima kasih, Nona-Sok-Pintar. Baik sekali kau menuduhku begitu." Draco menyetop pembicaraan, membiarkan Hermione menganga hendak berbicara.

Draco Malfoy: The Boy Who Has No ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang