"Kayaknya ini bukan ide bagus, deh."
"Kenapa?"
Dara berada di dalam mobil, di kursi penumpang sementara Verro menyetir. Makin dekat mereka menuju restoran tempat janjian makan siang, makin kuat perasaan takut yang menyesakkan hati Dara. Seperti perban yang dibebatkan terlalu kencang. Seperti korset yang kini menyangga tubuhnya agar tulangnya yang setengah sembuh tak bekerja telalu keras.
Verro bolak balik meyakinkan bahwa acara makan siang mereka akan aman. Fadlan sedang pergi keluar kota, katanya. Panca sudah menghubungi Verro sejak enam hari yang lalu.
Tapi sejak Dara memasuki mobil yang mobil yang mereka tumpangi meninggalkan garasi rumah Verro, Dara tak henti-hentinya melirik ke trotoar. Dia takut melihat lagi rombongan motor menderum-derum gahar, memekakkan telinga, lalu mulai melemparinya dengan batu.
Mungkin memang begitulah jahatnya teror.
Saat seseorang mencuri dompetmu, kamu hanya sekali kena curi.
Saat kamu jadi korban kejahatan brutal yang sengaja dilakukan untuk menghancurkan mentalmu, kamu jadi korban berkali-kali.
Tiap kamu memejamkan mata, tiap kamu kembali ke tempatmu diserang, kamu kembali ingat bahwa hidupmu begitu rapuh dan penuh ketidakberdayaan...
Tapi Dara diserang di jalan utama Pandanlegi. Riuh rendah Pandanlegi berpusat di sana, tak seperti rumah Verro yang terpencil di lembah.... Dan kecuali dia ingin menghabiskan waktunya selama di Pandanlegi bersembunyi di rumah Verro, Dara tahu dia tidak mungkin menghindari lokasi dia diserang selamanya.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja, tadi aku agak—"
"Takut?" tebak Verro, melirik sejenak ke arah Dara.
Dara tersenyum kaku dan mengangguk.
Verro menghela napas. "Mungkin ini memang bukan ide bagus. Mungkin seharusnya kita janjian makan siang di tempat lain saja."
Dara menggeleng sekali. Dia masih berusaha keras untuk tidak membuat banyak gerakan karena dadanya masih sering terasa nyeri. "Aku juga pengen makan di Mbah Jengket," kata Dara, menyebutkan nama restoran yang akan jadi tempat tujuan mereka makan siang. "Lagi pula, yang mau ikut makan siang ada lima belas orang lho, setengah jam lagi pas waktu janjian. Nggak mungkin kita hubungin satu-satu, kan?"
Bertepatan dengan lampu merah, Verro menghentikan mobilnya dan menatap ke arah Dara. "Kalau kamu berubah pikiran, katakan saja. Kelima belas orang itu adalah orang-orang yang pernah berkerja dengan ayah dan ibumu. Mereka, sama sepertiku, juga sudah menganggapmu sebagai keluarga sendiri. Kalau kamu mau batalkan, kita bisa putar balik dan kembali ke rumah, lalu kita hubungi mereka begitu sudah sampai rumah."
Dara tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa, beneran. Aku lagi pengen makan di luar juga, bosen banget... Udah kangen sama ayam bakar sama pecel turi di Mbah Jengket. Inget banget itu dulu kesukaan Ibu," kata Dara. Sesuatu dalam hatinya seperti tersayat bilahan bambu. Perih, tapi tidak berdarah. Sedih, namun tidak ada airmata yang bisa keluar.
Bukan hanya Ibu, Ayah dan Kak Lintang juga suka.
Satu hal soal perasaan duka adalah mereka tidak datang sekaligus. Mereka seperti ombak saat kamu berdiri di pinggir pantai, bergulung kecil dan berdebur di mata kakimu.
Kesedihan datang sebentar lalu bergi, dan kamu tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiri termangu, setengah takut setengah pasrah...
***
Dara bersyukur dia cukup berani untuk datang ke acara makan siang yang sudah diatur Verro segera setelah pria itu mendapat kabar bahwa fadlan tidak ada di Pandanlegi. Keterbatasan waktu dan fisik tidak memungkinkan bagi Dara untuk mendatangi satu-satu kenalannya di Pandanlagi. Dara sempat kaget melihat Mbah Jengket kini punya ruangan VVIP yang ber-AC dan menghadap ke kolam koi besar, tapi kemudian salah satu pelayan yang mengantar mereka ke saung yang sudah mereka pesan menjelaskan, bahwa Mbah Jengket sering jadi tempat pengadaan rapat sekaligus makan siang. Baru saat itu Dara menyadari ada setidaknya lima perusahaan besar di Pandanlegi, tiga diantaranya mirip Panca dan satu lagi mirip Verro.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Terbelah Dendam
RomanceDara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. Sepuluh tahun berlalu... Panca dan Dara kembali bertemu. Kini Panca memiliki segalanya, tapi Dara tetap tak terjangkau olehnya.... *** Starte...