3

31.2K 3.9K 102
                                    




Wanita yang menyapanya ternyata Rosa, teman dekat Mbak Lintang saat SMA dulu. Terang saja Dara merasa familiar dengan wajahnya, Rosa sering bermain ke rumah, bersama teman-teman Lintang yang lain.

Rosa rupanya memang sengaja menemui Dara, saat tahu bahwa Dara akan datang sendiri mengurus penjualan rumah mereka. Abdi, notarisnya, merupakan suami Rosa.

Rosa bertanya soal kabar Dara, soal kabar keluarga mereka selama ini dan tentu saja, dia ingin mendengar cerita soal sakit yang menimpa Lintang hingga menyebabkan kematiannya.

Dara bercerita dengan hati-hati. Menurut pengalammnya, orang akan cenderung menangis tanpa kendali kalau dia bercerita tentang keadaan keluarga dia yang sebenarnya. Soal sakit Lintang juga Dara tidak tega bercerita terlalu jauh.

Bahkan meski sudah memilih easy mode, menyaring cerita dan berusaha tersenum sepanjang cerita, Rosa tetap menangis terisak-isak begitu Dara selesai bercerita.

Butuh waktu setengah jam bagi Dara untuk menenangkan Rosa, memintanya bersabar dan tawakkal.

Rosa menarik kasar tisu dari meja rendah dekat sofa mereka, lalu menyingsingkan ingus ke sana. "Lintang, Lintang..." isaknya sedih.

Dara hanya bisa tersenyum rikuh. "Sabar ya Mbak..."

Asisten notaris yang sedari tadi memainkan ponsel selama Dara menunggu, rupanya juga ikut mendengar cerita Dara, karena menggunakan ujung lengan kemejanya, dia juga diam-kiam menyeka airmata.

Rosa meremas tisu di tangannya. Seakan ingat sesuatu, dia menggeser tubuhnya dengan mendadak, mencengkeram kedua bahu Dara.

"Hari ini kamu terbang kembali ke Lampung, kan? Biar Mbak Rosa bantu--"

Dara menggeleng. "Aku bakal tinggal di sini dulu sebentar," kata Dara. "Tiga hari."

"Apa??" Rosa berdiri. "Tidak boleh!"

Dara menarik tangan Rosa, mengisyaratkan perempuan itu untuk duduk. "Mbak Rosa--"

Rosa lalu duduk meski wajahnya terlihat amat emosional. Sebelum sempat Dara melanjutkan perkataannya, Rosa berkata dengan tegas. "Kamu tidak seharusnya berada di sini, Dara... Mendiang ibu dan kakakmu biasanya hanya menghabiskan waktu beberapa jam di sini, sebelum ke Semarang, menginap semalam di sana dan kembali ke Lampung keesokan harinya, Itulah cara mereka menghindari masalah, sesuatu yang harusnya kamu ikuti juga."

Dara menelan ludah.

Kalau ada satu hal yang paling ditakuti keluarganya--baik mendiang ayahnya, mendiang ibunya dan mendiang kakaknya--maka satu hal itu adalah dipermalukan.

Tak satu pun dari mereka yang takut hidup susah. Tidak ada yang takut hidup didera kesakitan.

Tapi dipermalukan? Keluarganya akan melakukan segala cara untuk menghindarinya.

Jatuh dari kejayaan bukanlah masalah, tapi kalau orang yang kini mengisi singgasana yang dulu pernah mereka tempati, dan orang itu adalah mantan orang yang pernah bekerja serabutan ke keluarga mereka, maka mereka akan melakukan segala hal untuk menyingkir.

Keluarganya tidak akan membiarkan orang yang dulu mereka perlakukan semena-mena merasakan manisnya pembalasan dendam.

Tapi keluarganya kini sudah tiada, meninggalkan Dara sebatang kara.

Soal dipermalukan, soal dendam, Dara tidak memiliki pandangan yang sama dengan mereka.

Dara berani mempertaruhkan harga dirinya.

Dara akan mengizinkan orang yang dipermalukan keluarganya untuk mempermalukan dia.

Dara akan membiarkan orang yang memiliki dendam pada keluarganya untuk membalaskan dendam padanya.

Bulan Terbelah DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang