Dara baru pulang dari temu makan siangnya dengan Rosa jadi tidak tahu apa-apa. Tapi dia sudah mendengar suara ribut pertengkaran itu begitu dia membuka pintu rumah Verro.
Kantor Verro memang berada di bangunan yang sama dengan rumah, tapi letaknya di sayap yang berbeda, dihubungkan oleh koridor kaca.
Hampir sebulan Dara tinggal di sini, belum pernah sekalipun dia mendengar ribut macam ini.
Dara berjalan perlahan, mendekati pintu ruang kerja Verro yang terbuka sedikit, tempat asal suara ribut itu terdengar.
Makin lama makin jelas, bahwa keributan yang semula Dara kita pertengkaran hanya berlangsung dari satu arah. Ini tidak seperti pertengkaran. Lebih mirip seperti orang yang ngomel sementara lawan bicaranya hanya diam mendengarkan.
"Mas Verro?" panggil Dara, dengan hati-hati dia mendorong pintu kerja pribadi Verro.
Dara mengira dia akan mendapati Verro sedang melakukan percakapan lewat telepon. Tapi ketika kepala Dara melongok masuk, dua kepala menoleh ke arahnya.
Panca mengenakan celana pantalon yang membuat kakinya makin jenjang. Mengenakan kemeja warna hitam, senada dengan celananya. Lengan kemejanya ditekuk hingga siku. Kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Pakaian yang dikenakan Panca terlihat begitu rapi dan elegan. Seharusnya pakaian itu membuat makin bersinar, meenampilkan pesona pengusaha muda yang mapan dan memancarkan aura kesuksesan.
Tapi berkebalikan dengan pakaiannya, wajah Panca terlihat kuyu.
Lingkaran hitam terlihat di sekitar mata Panca. Bagian depan rambutnya terlihat sedikit acak-acakan, seolah pria itu ketiduran di meja kerja dan hal pertama yang dia lakukan begitu bangun dari tidur adalah menyambangi rumah Verro. Bahu Panca sedikit terkulai dan punggungnya membungkuk.
Alih-alih memancarkan aura kesuksesan, Panca lebih terlihat seperti memancarkan kelelahan luar biasa. Hanya dengan melihat wajah Panca yang begitu redup dan suram saja membuat Dara ingin tidur.
"Nih, datang juga orangnya," kata Verro, satu tangannya mengibas ke arah Dara, suaranya setengah membentak.
Dara tidak tersinggung.
Dia tahu mengapa suasana hati Verro seperti ini. Alasan mengapa Dara pergi dengan Surya tadi pagi, disambung makan siang dengan Rosa, adalah untuk memberi ruang bagi Verro agak dia bisa berada di rumah sendirian.
Melihat Verro yang kini hanya mengenakan hoodie warna hitam dan celana training gombrong, Dara tahu Verro bahkan tidak repot-repot masuk kantor hari ini.
Tapi mendengar bentakan Verro pada Dara, Panca seketika menegakkan tubuh. "Hei! Apa masalahmu?" kata Panca, dia melangkah maju mendekati Verro.
"Pak Panca!" sergah Dara, meninggikan suaranya sekeras mungkin.
Tepatnya, apa masalah Panca?
Bukannya sedari tadi Verro memang mengomel satu arah dan dia diam saja? Kenapa sekarang malah harus bereaksi?
Panca berhenti. Dia menatap Dara dengan pandangan kaku. "Apa?" tanya Panca tak sabar.
Dara menghela napas. "Ikut saya sebentar, Pak. Ada yang perlu saya bicarakan," kata Dara dengan suara pelan.
"Nah, bener... sana tuh. Angkut nih pacar kamu, Ra," omel Verro.
Dara memejamkan mata kuat-kuat mendengar ucapan Verro, takut Panca tersinggung dengan becandaan kekananakan itu.
Tapi Panca hanya menatap Verro tanpa mengatakan apa-apa, lalu balik badan dan berjalan ke arah Dara.
Dara membuka pintu di belakangnya, tetap memegang handel pintu hingga Panca melewati ambang pintu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Terbelah Dendam
RomansDara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. Sepuluh tahun berlalu... Panca dan Dara kembali bertemu. Kini Panca memiliki segalanya, tapi Dara tetap tak terjangkau olehnya.... ...