Ketika Dara membuka mata, yang pertama kali dia lihat adalah gorden biru pembatas antar ranjang UGD. Aroma Betadine dan bau obat menyeruak hidung. Sekujur badannya nyeri dan kesakitan, tapi denyut yang berasal dari pelipis kirinya yang terasa paling menganggu.
Kepala Dara miring ke sebelah kanan. Kelopak mata kirinya juga terasa sulit dibuka sehingga Dara hanya bisa melihat normal dengan mata kanan saja.
"Bu, bagaimana perasaannya?"
Dara menggeser sedikit kepalanya, mendapati wajah seorang perawat yang berdiri di samping ranjang menunduk menatapnya.
Dara menarik tangannya dari bawah selimut yang hangat dan berat, berusaha menyentuh bagian belakang kepalanya yang sakit. Tapi perasaan nyeri berpendar dari bagian kiri dadanya, nyaris membuat penglihatannya memutih. Dara seketika berhenti bergerak, dan meski kini memudah, perasaan nyeri itu masih berdenyut menyakitkan
"Bu Dara? Ada rasa mual? Ingin muntah?" tanya perawat itu.
Dara menggeleng sekali. "Sakit," kata Dara, suaranya parau. "Dingin."
Perawat itu membantunya menaikkan selimut tebal rumah sakit hingga ke dagu.
Baru saat itu, Dara menyadari bahwa selimut rumah sakit sebenarnya tipis-tipis saja, selembar katun halus bersalur hijau muda.
Kain hangat tebal yang menyelimuti tubuhnya adalah jaket wol panjang hitam.
Jenis jaket panjang yang terlihat mahal, yang biasanya dikenakan di negara-negara bersalju.
Dara menatap kerah jaket itu, mendekatkannya ke hidungnya sembari memejamkan mata.
Aroma bersih matahari, sedikit vanili, sedikit bau embun, sedikit aroma rempah memenuhi penciuman Dara. Mungkin begini rasanya berada di dekat pemilik jaket ini.
"Jangan terlalu banyak bergerak, salah satu ruas tulang rusuk Bu Dara retak...."
Perawat itu pasti bisa langsung melihat wajah Dara yang mulanya pucat, makin memutuih, karena kemudian dia buru-buru bicara. "Dokter jaga akan datang sebentar lagi untuk menjelaskan... karena yang retak di bagian rusuk, tidak ada yang bisa banyak dilakukan selain bedrest total dan minum obat pereda sakit, sebisa mungkin Bu Dara tidak perlu bergerak..."
Pikiran Dara melayang, tidak bisa memproses perkataan selanjutnya perawat itu.
Mungkin benar yang dikatakan semua orang.
Mungkin sebaiknya dia datang seperlunya saja ke Pandanlegi, lalu pergi sejauh-jauhnya dari sini.
***
Selain keseleo, rupanya betis Panca juga terluka--sepertinya oleh paku atau ujung besi. Hanan membantu Panca membebat mata kakinya dan mengobati luka di betis Panca.
"Pak? Jaket Bapak di mana? Mau saya cuci sekalian," kata Hanan, sembari mengambil kemeja yang sudah Panca masukkan ke keranjang rotan.
Panca sudah duduk kursi dekat jendela, hanya mengenakan kaus dalam dan celana panjang hitam yang tadi dia kenakan ke kantor, satu bagian celananya dilipat hingga ke lutut.
"Tidak ada."
"Tidak ada? Kan tadi dipake, Pak?"
Panca hanya menatap Hanan sekilas, menolak menjawab lebih lanjut.
Hanan akhirnya salah tingkah. Sebenarnya Panca sendiri punya asisten rumah tangga yang bekerja dari pagi sampai sore. Membereskan baju kotor Panca dan membawanya ke ruang cuci bukan tanggung jawab Hanan, tapi dia merasa itu bukan pekerjaan besar dan tidak keberatan melakukannya.
Panca bangkit dari tempar duduk dan berjalan tertatih ke ranjang. "Taruh saja bajuku di keranjang di kamar mandi. Sekarang kamu pulang saja. Jam kantor sudah berakhir berjam-jam yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Terbelah Dendam
RomanceDara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. Sepuluh tahun berlalu... Panca dan Dara kembali bertemu. Kini Panca memiliki segalanya, tapi Dara tetap tak terjangkau olehnya.... *** Starte...