7

29.8K 4K 246
                                        

Panca tahu... kalau ini Dara yang sama dengan gadis muda yang dikenalnya sepuluh tahun lalu, Dara akan tersenyum lebar, lalu menjawab, kamu bukannya sama?

Panca mengatupkan rahangnya kuat-kuat, mempersiapkan diri mendengar kata-kata itu dari mulut Dara.

Karena bukankah dia juga sama? Bukankan Dara kini duduk di hadapannya, dengan wajah dan tubuh berbilur luka... karena entah sejak kapan Panca memutuskan untuk selalu meminta maaf untuk segala masalah yang ditimbulkan Hellraisers?

Karena Panca tahu bahwa membiarkan masalah Hellraisers akan membuat Hashim sedih dan sebagai orang yang berutang budi pada Hashim, yang sudah menganggapnya sebagai orangtua angkatnya sendiri, Panca akan mengerahkan segala tenaga untuk melindungi anak-anaknya?

Tapi kalimat penghakiman itu tidak pernah datang dari mulut dari... beberapa waktu berlalu, Panca dan Dara bertatapan, sebelum akhirnya Dara mengalihkan pandangan dari wajah Panca dan mendongak menatap Heri. 

"Pak Heri, maaf saya cuma bisa antar sampai sini... saya agak capek. Lalu, sebentar lagi saya akan meninggalkan Pandanlegi, jadi maaf juga tidak akan bisa membantu banyak soal urusan ini."

Heri hanya tersenyum dan mengangguk, "Baik Bu Dara, hati-hati, saya pulang dulu."

Heri menangguk sekilas pada Hanan dan Panca, lalu pergi meninggalkan mereka. Menggunakan tuas di kursi roda, Dara memutar kursi rodanya, menghadap Panca dan Hanan, lalutersenyum seadanya. "Pak Panca, Pak Hanan, mari... saya masuk dulu."

"Silakan Bu...." kata Hanan, sementara Panca hanya mengangguk dalam. Baik Panca dan Hanan membuka jalan, membiarkan Dara lewat di tengah mereka. Begitu Dara berada sekitar sepuluh meter, Hanan mulai berjalan. Panca mengikutinya dengan langkah berat... Hanan menyadari itu. Biasanya, selalu Panca yang tak sabar meninggalkan tempat segera setelah urusan mereka selesai. Baru kali ini Hanan melihat langkah bosnya seperti diganduli sepasang bola besi.

Panca menunduk, menatap jas yang kemarin tak bisa Hanan temukan di kamarnya.

Jas yang kini kotor ternoda darah kering.

"Pak..." panggil Hanan hati-hati, takut membuat Panca kaget.

"Mmm..." Meski jalannya pelan dan matanya menatap ke arah jaket di tangannya, langkah Panca tegap tak bercela.

"Apa kita perlu beli buah? Atau bunga? Sekarang kita tahu Bu Dara beristirahat di kediaman Pak Verro, kita tahu harus mengirim kemana..."

"Tak perlu," kata Panca dengan suara pelan. Langkah mereka berdua berjajar di jalan halus menuju gerbang pintu keluar. Heri sudah tidak terlihat sedari tadi. 

"Kenapa?"

"Pokoknya tidak usah saja..." kata Panca, nadanya final. 

Sejujurnya Panca sendiri tidak tahu kenapa... Kata-kata tidak perlu itu otomatis keluar dari mulutnya. Mungkin karena ucapan Heri tadi... semua korban Hellraisers selalu disantuni Panca dan perusahaannya. Menyamakan Sasadara Sakinah sebagai sekadar korban Hellraisers membuat hati Panca nyeri seperti ditikam paku. 

Mengingatkan Panca akan ketidakberdayaannya menanggulangi Hellraisers dan Fadlan. 

Mengingatkan Panca akan ketidakmampuannya menghalangi Dara kembali ke Pandanlegi...

Langkah Panca terhenti... dia ingat kalau bagian depan rumah Verro yang luas itu memiliki tanjakan. Tubuh Panca memutar kaku, memandang sosok Dara yang kini sudah berada di kejauhan, hanya bagian belakang kepalanya yang terlihat.

Bulan Terbelah DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang