4

30.1K 3.8K 142
                                    




Rosa, yang masih duduk di sofa, mendongak perlahan, menatap Dara yang masih berdiri. Matanya membelalak maksimal.

Tadinya Rosa sudah berpura-pura tidak melihat dua orang yang baru masuk ke kantor suaminya itu.

Kesetiaan akan selalu dia tumpukan pada adik almarhum sahabatnya. Rosa akan melakukan segalanya untuk Dara! Dia tidak peduli kalau orang paling kaya seprovinsi memusuhinya, toh Rosa tak minta makan dari dia???

Kini, melihat Dara begitu entengnya menyapa Panca membuat Rosa hampir kena serangan jantung.

Rosa ingat Lintang menjuluki Dara dengan sebutan keledai... penurut dan tak pernah membantah. Ingatan samar Rosa akan Dara sepuluh tahun lalu perlahan makin jelas. Gadis mungil yang selalu tersenyum, hidup nyaris tanpa beban karena selalu memaafkan dan penuh pemakluman.

Memaklumi kekerasan hati ayahnya. Memaklumi pemberontakan remaja kakaknya. Memaklumi keterbatasan Panca.

Suasana ruang tunggu itu hening beberapa lama.

Kemudian suara Panca yang berat dan dalam terdengar. "Hai, Dara... Lama tidak ketemu."

Kali ini, mata Rosa bukan hanya membelalak, tapi nyaris keluar dari soketnya.

Kepala Rosa memutar cepat ke arah dua pria yang duduk di sofa dekat jendela kaca. Dia tidak salah dengar. Panca benar-benar membalas sapaan Dara.

Di sebelah Panca, pegawainya, terlihat sama terkejutnya dengan Rosa. Mulutnya ternganga dan matanya membelalak juga.

***

Dara menyiapkan diri.

Dia sudah membayangkan berbagai kemungkinan respons Panca akan sapaannya.

Dara sudah membayangkan Panca akan melengos. Membayangkan Panca menghinanya. Membayangkan Panca mengerutkan hidung lalu keluar karena tidak ingin berada satu ruang dengan Dara.

Ketika dia kemudian mendengar jawaban Panca, Dara seketika mematung.

Senyum gadis itu perlahan memudar.

Dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Seperti babi yang berkubang lumpur, lalu diajak mandi. Sekian lama mengeraskan hati dan menyiapkan diri untuk skenario terburuk, akan seperti kehilangan pijakan kalau diberikan kebaikan.

Gadis itu menatap Panca, tapi Panca masih mengenakan kacamata hitamnya. Dara tidak tahu apakah Panca melihat ke arahnya.

"Pak Panca?"

Ardi bergegas mendekati mereka berempat, tapi kontak mata antara Dara dan Panca masih belum terputus.

Yang satu duduk, satu berdiri. Yang satu pria paling berpengaruh, dicintai dan didekati semua orang. Yang satu gadis merupakan gadis terbuang yang baru kembali dari tempat perasingan.

Terdengar suara pintu kaca dibuka, disusul panggilan seorang pria. "Dara?"

Dara yang akhirnya lebih dahulu berpaling, memutuskan kontak mata antara dia dan Panca.

Dara tersenyum lebar saat melihat Surya di ambang pintu.

Ketika Dara menatap Panca lagi, pria itu terlihat mengeraskan rahang. Dara tidak memedulikannya. "Mbak Rosa, aku pergi dulu. Pak Abdi, terima kasih ya... Pak Hanan, Pak Panca, mari saya duluan."

Tanpa menunggu jawaban dari orang-orang, Dara membalikkan badan dan menarik kopernya memutari Abdi menuju pintu. "Heiiii," kata Surya sembari tergelak, melebarkan satu tangannya sementara tangan satunya menahan pintu agar Dara bisa keluar.

Dara membiarkan Surya memeluknya dengan satu tangan, hatinya lega luar biasa. "Yuk," kata Dara.

"Sori ya lama," Surya meminta maaf. "Tadi aku--"

Bulan Terbelah DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang