Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]
Tak terasa waktu memang bergulir begitu cepat. Hari ini sudah hari senin lagi. Hari yang Ayumi benci. Karena harus melaksanakan upacara bendera dan mengikuti pelajaran olahraga yang melelahkan.
Ayumi termasuk lemah dalam hal olahraga. Apalagi jika harus voli dan basket. Dia angkat tangan saja. Lebih baik duduk di pinggir lapangan menunggu permainan selesai.
Dan sialnya, saat ini Angkara sedang menujuk dirinya untuk memperlihatkan cara melemparkan bola basket yang benar. Pak Asep menyuruh Ayumi berdiri, dan Angkara langsung melemparkan bola basket yang dipegangnya.
Astagfirullah. Hal dasar dalam basket aja aku teh gak bisa. Gimana mau nujukin cara ngelempar bola yang benar, gerutu Ayumi dalam hati.
Ayumi dengan terpaksa berdiri setelah perintah Pak Asep untuk yang kedua kalinya. Angkara tersenyum—manis—rese saat Ayumi melewatinya. Yang pastinya dibalas dengan tatapan tajam Ayumi.
Sesuai dugaan, Ayumi tak dapat melakukan shoot bola dengan benar. Bukan hanya tekniknya saja yang salah, bahkan lemparan bolanya pun tak sampai mengenai ring basket.
Untungnya Angkara menyelamatkan Ayumi dari tatapan mengejek teman-teman dan adik kelasnya. Dia meminta izin Pak Asep untuk mengajari cara melemparkan bola yang benar dan tepat sasaran.
Beberapa kali Ayumi menepis tangan Angkara yang ingin menyentuhnya. Angkara sampai bingung sendiri bagaimana harus mengajarinya.
“Ish, kumaha sih maneh teh! Katanya mau diajarin,” kesal Angkara. “Kalau kayak gini gimana cara ngajarinnya Mayumii!”
“Ituh, siapa juga yang minta diajarin! Kan kamu tadi yang nyuruh aku buat maju!”
“Ya udah si, lagian Pak Asep juga yang minta lo buat ke sini,” protes Angkara. “Pak, Ayumi gak mau nih, Pak!”
“Ayumi, kamu harus belajar dari sekarang. Nanti ada tes basket loh. Kamu mau gagal terus?”
“Ya … ya gak mau, Pak.” Ayumi ragu-ragu memegang bola. “Tapi … Angkara pegang-pegang. Saya gak mau dipegang!” dia menekankan di akhir kalimatnya dilengkapi dengan lirikan tajam pada Angkara.
“Ya udah, kalau gitu biar saya yang ajarin.” Pak Asep baru saja akan melangkah ke tengah lapangan, namun ucapan Angkara menghentikannya.
“Jangan, Pak. Udah biar saya aja. Dia harusnya bisa kalau kayak begini doang.” Waduh, bisa gawat kalau malah sama Pak Asep, batin Angkara bermonolog.
“Ya udah, terus gimana ini?!” Ayumi berdiri kaku memegang bola di depan dadanya.
“Bukan kayak gitu—“
“Step by step-nya Angkara. Dengan suara yang keras dan jelas! Supaya yang lain juga tahu,” teriak Pak Asep dari pinggir lapangan.
“Oke, langkah pertama badan tegap. Jangan terlalu tegang,” ucapan Angkara diperhatikan dengan seksama oleh teman-temannya. Begitu juga para kakak kelas. Terutama yang perempuan. “Kaki kanan di depan ….”
“Kalau kidal gimana?” salah satu murid menyela.
“Yaa, terserah. Maksudnya, salah satu kaki berada di depan. Kaki dilebarkan, satunya lagi di belakang. Seperti—“ saat akan memegang kaki Ayumi, lagi-lagi dia menggeram. “Kaki lo lebarin!” bisik Angkara penuh penekanan.
“Ya, seperti ini,” kata Angkara lagi setelah Ayumi melakukan yang benar. “Kedua tangan memegang bola, satu di bagian atas, satu lagi di bawahnya.”
“Jari-jari jangan berdekatan! Tapi dilebarkan, senyamannya aja memegang bola.”
“Setelah posisinya benar seperti ini, tinggal siap dilemparkan.”
Ayumi melempar bola ragu-ragu. Dan … hasilnya dia gagal lagi memasukkan bola ke dalam ring. Tapi kali ini lebih mending. Bola sudah melambung tinggi ke atas.
Angkara geram karena Ayumi tidak bisa. Percobaan selanjutnya dia bahkan lupa lagi posisi yang benar bagaimana.
Ayumi menatap bingung pada Angkara. Saat lelaki tersebut mendekatkan tubuhnya di belakang Ayumi. “Tenang, gue gak bakal macem-macem.”
“Ya terus kenapa kamu deket-deket!” sinis Ayumi.
Angkara menjelaskan kembali langkah-langkahnya sembari membetulkan posisi kaki dan tangan Ayumi. “Tenang, cuma sebentar. Nih kayak gini,” bisiknya pada Ayumi.
Ayumi tak dapat berkata-kata saat jemari Angkara berada di punggung tangannya. Dia marah jujur saja. Kesal dan …. Dia bahkan sampai gemetar tak karuan.
“Jangan gemeter dong,” bisiknya lagi pada Ayumi. “Oke, rileks ya teman-teman. Jangan tegang.”
Ayumi mengikuti pergerakan Angkara, meskipun tubuhnya sudah tak karuan. Entah mengapa tangannya juga menjadi panas dingin.
Apa Yumi setakut itu? Dia sampai gemeteran kayak gini gue pegang. Angkara bertanya-tanya dalam hati. Dia sampai berpikiran jauh, mengira Ayumi pernah mengalami sesuatu hal yang tidak mengenakan dengan mahluk berjenis kelamin laki-laki.
“Woy, udah woy, Cari kesempatan lo!” terikan murid laki-laki menyadarkan Angkara dari lamunannya. Diikuti ejekan-ejekan dari murid lainnya. Juga mencie-cie-kan keduanya.
Angkara tak menghiraukan kegaduhan yang terjadi. Dia menggerakkan tangan Ayumi untuk lagsung melemparkan bolanya. Dan tanpa disangka bola masuk tanpa susah payah ke dalam ring basket di atas sana.
“Yeey, masuk!” teriak Ayumi kegirangan. Dia bahkan sampai melompat-lompat.
“Tuh, kan gue bilang juga apa. Sekarang coba sendiri!”
Ayumi berlari mengambil bola. Lalu kembali melempar bola dengan percaya diri. Keberhasilan Ayumi membuat murid-murid cewek mengerubungi Angkara. Mereka juga minta diajarkan dengan sabar olehnya.
Pak Asep mengendalikan kericuhan yang terjadi. Murid-murid dibagi menjadi dua kelompok. Sesuai dengan nomor absen. Satu kelompok dilatih oleh Angkara. Satu lagi oleh Inal—perwakilan dari kelas sebelas.
Tak hanya teknik dasar melempar bola, mereka juga belajar melakukan three shoot yang benar. Begitu juga cara mendrible yang dapat memantulkan bola dengan kecepatan sama dan tanpa membuat tangan lelah.
Saat tiba giliran Ayumi, lagi-lagi dia tak kuasa menahan getaran di tubuhnya.
“O-oh, iya gitu.” Ayumi menjauhkan tangan Angkara darinya.
Dia memantul-mantulkan bola, lalu mentolakkan kakinya tiga kali sebelum melompat melempar bola. Dan tanpa diduga percobaan pertama Ayumi langsung berhasil.
Dia senang sekali. Bibirnya tanpa sadar tersenyum dengan lebar.
“Jangan senang dulu, sekarang belum apa-apa. Minggu depan baru dinilainya,” perkataan Angkara menyadarkan Ayumi. Dia tahu betul yang baru saja terjadi hanyalah kebetulan. Mau tak mau dia harus terus berlatih seperti itu jika ingin mendapatkan nilai bagus minggu depan.
Ayumi melirik sebal Angkara. Dia melengos meninggalkannya ke pinggir lapangan. Karena bertepatan dengan Pak Asep yang memberi perintah untuk murid-laki-laki melakukan pertandingan basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Ayura
Teen FictionAyumi membenci seorang murid pindahan yang berstatus sebagai adik kelasnya. Dia selalu risih ketika sosok tersebut hadir di hadapannya. Sialnya, Ayumi tidak dapat menghindar karena kelas mereka bersebelahan. Akan tetapi, hati selalu berkata lain, se...