[Bab 18] Di Persimpangan

15 6 0
                                    

Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]

“Yum, kamu capek, ‘kan?”

Ayumi melirik Angkara heran. “Capek kenapa, sih? Aku dari tadi duduk di sini, kok. Gak lari-larian.”

“Yum, udah ya. Kamu gak perlu terlalu menjaga sikap di depan aku. Aku suka kamu apa adanya.”

Ayumi kembali mengingat waktu Angkara memujinya. Saat itu adalah awal-awal mereka dekat. Tepat setelah kejadian basket yang membuat lengket.

Angkara bilang bahwa Ayumi itu sebenarnya orang yang lemah. Penakut, pemalu dan sangat pengecut. Tapi selalu berusaha membuat semua orang percaya bahwa dirinya galak, judes dan pemberani. Orang yang lemah namun ingin terlihat kuat di saat yang bersamaan.

Dan Angkara akui bahwa dia salut pada Ayumi. Lelaki itu berjanji akan membuat Ayumi menjadi orang yang benar-benar kuat. Perlahan membuat kelemahan itu menjadi sebuah kekuatan yang sebenarnya.

Ayumi tersenyum tipis. Yah, dia merasa semakin kesal sekarang. Kesal karena Angkara sangat mengenalinya. Teman yang tahu bagaimana sifat dan perasaan sebenarnya.

Tetapi kenapa? Kenapa Angkara tidak tahu bagaimana perasaan yang ada di hatinya?

Mengerjapkan mata. Ayumi berusaha menghentikan lamunannya. Selesai menghabiskan bakso kesukaannya, dia berdiri. Menarik Hana sembari berkata, “Hayu, Han! Kita ke kelas.”

Angkara mencekal pergelangan Ayumi, “Tunggu dulu, Yum. Kita bareng.”

Setelah tadi tertohok dengan perkataan Ayumi. Angkara diam seribu bahasa. Lebih memilih fokus menghabiskan makanannya. Barulah kali ini berani berbicara lagi.

“Apaan, sih, Kar!” Ayumi yang memang tak suka dipegang, langsung menghempaskan tangan Angkara.

Membuat teman-teman Angkara langsung bersorak. Yang ternyata sedari tadi masih memerhatikan. Sepertinya sangat senang melihat Angkara ditolak seperti itu.

“Kamu kenapa, sih, Yum? Beda tahu gak!” Angkara menghela napas. “Kamu berubah.  Bahkan akhir-akhir ini sering ngehindarin aku. Salah aku apa, Yum?”

“Kamu salah. Kamu jahat, Kar. Aku benci banget sama kamu.” Untuk kedua kalinya Ayumi menghempaskan tangan Angkara. Menggandeng Hana pergi meninggalkan tempat tersebut.

Lelaki-lelaki yang berseberangan dengan Angkara terkikik-kikik. Lanjut mengejek dan meledek semakin menjadi-jadi.

Kamu gak peka, Angkara. Kamu salah. Kamu memang salah, geram Ayumi dalam hati.

Ayumi menghela napas kasar. Enggak, Kar. Kamu gak salah.

Aku yang salah. Aku yang kurang ajar udah jatuh cinta sama kamu.

[*****]

Ayumi memberikan beberapa lembar dua ribuan pada teteh penjaga warung—sepertinya anak Bi Dati. Warung di perempatan memang paling dekat dari rumah. Harganya juga terjangkau, tak perlu menguras kantong.

Tangan mungil Ayumi membawa barang belanjaannya dalam keresek hitam keluar dari area warung.

Satu tahun telah berlalu. Keadaan dusun Maragas masih sama. Tidak ada perubahan berarti. Namun Ayumi sudah semakin dewasa. Sudah menginjak bangku perkuliahan.

Mengingat Angkara, Ayumi sudah tak tahu lagi keberadaannya. Hanya satu hal yang pasti, Angkara juga sudah naik kelas—menjadi murid kelas tiga SMA.

Semenjak kejadian di kantin, Ayumi dan Angkara semakin menjauh. Seberapa keras pun Angkara mendekatinya. Sekeras itu juga Ayumi menghindarinya.

Hingga akhirnya Ayumi lulus dan benar-benar meninggalkan Angkara untuk kuliah di Sukasenang. Mereka benar-benar lose contact, lebih tepatnya Ayumi yang memutuskan kontak. (hilang kontak)

Simpang AyuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang