Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]“Oek … oekk … oekk … huwee … huwee,” suara tangis seorang bayi menggema di seluruh ruangan. Minimarket yang sempit itu terasa semakin sesak dengan keriuhan suara bayi.
“Jun, sini, ih! Ituh, ai kamu dotnya malah dibawa!” teriak Ayumi lebih keras mengalahkan suara bayi yang ada di gendongannya.
Untungnya keadaan minimarket sedang lengang. Hanya ada satu orang bapak-bapak yang sedang kebingungan memilih-milih bahan masakan.
Junho, lelaki tampan dan tinggi yang dipanggil Ayumi segera berlari menghampirinya. “Iya-iya. Maaf, aku lupa. Nih, lagi milih susunya juga.”
“Ya, jangan dibawa dong dotnya, kamu mah!” tangan kanan Ayumi merampas dengan cepat dot yang dipegang Junho.
Bayi mungil yang ada dalam gendongan Ayumi langsung tenang. Sibuk dengan air susu yang menyumpal mulutnya. Hal itu langsung membuat Ayumi bernapas lega. Telinganya aman dari kepengangan suara delapan oktaf yang tak kira-kira.
“Lihat dulu umurnya, buat usia berapa? Nanti salah lagi!”
Junho langsung menurut, mengikuti perintah perempuan galak yang ada di hadapannya. “Bener, ah. Nol sampai satu tahun. Ini ‘kan bener, yang Bebelek, ya? Atau yang SGMa?” tunjuk Junho memperlihatkan kedua susu dalam kotak dus di kedua tangannya.
“Ih, kamu mah bukannya diinget-inget! Aku mana tahu. Kayaknya … Bebelek, deh. Eh, bukan … tunggu deh, aku telepon Bi Sana dulu,” celoteh Ayumi kesal pada Junho. Bisa-bisanya dia melupakan hal sepenting itu.
Padahal dialah yang sedari awal diberi amanat menjaga bayi mungil tersebut. Begitu pula dengan hal-hal yang harus dibelinya.
Tanpa Ayumi sadari, ada seorang lelaki yang masuk ke dalam minimarket.
“Selamat datang di Indomarah, selamat berbelanja!” ucap seorang kasir menyambut lelaki yang baru saja melewati pintu minimarket.
Lelaki tersebut hanya tersenyum membalas sapaan sang kasir.
“Junho, ih! Tuh bener Bebelek, kata Bi Sana.” Ayumi melirik sadis. “Iya nih. Si Jujun pikasebeleun. Masa lupa geura. Aku udah pusing ngurus si Gana. Dia nginget kayak gitu aja gak bisa,” gerutu Ayumi. Lebih tepatnya berbicara dengan Bi Sana di seberang telepon.
“Nih, Jun! Bibi mau ngomong katanya.” Ayumi menyodorkan HP-nya ke Junho.
Setelah menerima HP, Junho pergi agak menjauh.“Ayumi!” panggil seorang lelaki dari belakang, diikuti tepukan pelan di pundak Ayumi.
“I … ya?” Ayumi menoleh sembari menjawab ragu. “Ka-ra?” sapanya kaget.
Ternyata lelaki yang baru masuk minimarket tadi adalah Angkara. Seseorang yang sangat Ayumi hindari.
“Yum … kamu …,” tanya Angkara terjeda. “Kamu udah … e-enggak! Ini, ini anak kamu?”
Ayumi mengikuti arah pandang Angkara, lalu menyadari jika lelaki tersebut telah salah paham.
“I-iya. Iya, dia anak aku.” Ayumi akhirnya berbohong. Sudat terlanjur basah juga, lanjut saja nyebur sekalian.
Jika Angkara sudah mengira seperti itu, maka Ayumi akan meneruskan kesalahpahaman ini. Dia juga tidak perlu repot-repot berfikir cara untuk membuat batasan antara dirinya dan Angkara.
“Ja-jadi …,” ucapan Angkara tertahan. Dia terlihat sangat syok dan tak mampu berkata-kata.
“I-iyaa. Iya. Ini Gana, anak aku,” ucap Ayumi. Tangannya dengan penuh kasih sayang menimang-nimang bayi tersebut yang sepertinya sedikit terusik. Tak lupa tepukan lembut di bokong si bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Ayura
Novela JuvenilAyumi membenci seorang murid pindahan yang berstatus sebagai adik kelasnya. Dia selalu risih ketika sosok tersebut hadir di hadapannya. Sialnya, Ayumi tidak dapat menghindar karena kelas mereka bersebelahan. Akan tetapi, hati selalu berkata lain, se...