[Bab 17] Tak Menentu

20 4 0
                                    

Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]

Setahun telah berlalu. Pertemanan Ayumi dan Angkara tentunya semakin lengket. Bahkan rasanya terlalu dekat. Hingga pada saatnya Angkara dengan tersenyum malu-malu mengenalkan seorang perempuan cantik pada Ayumi. Claudia. Kekasih Angkara.

Seketika itu juga dunia Ayumi runtuh. Semua angannya dengan Angkara hilang dalam sekejap. Sakit. Hati Ayumi sakit sekali. Bisa-bisanya Angkara dengan tidak berperasaan memintanya menerima perempuan tersebut.

Apa semua yang sudah mereka lewati begitu tidak ada artinya bagi Angkara? Apa benar-benar tidak ada rasa sedikit pun pada Ayumi di hati Angkara? Ayumi hanya bisa menghela napas kasar. Bodohnya dia. Iya, memang dirinya yang bodoh di sini.

Selama satu tahun penuh, Angkara memang tak pernah mengatakan bahwa dia punya rasa pada Ayumi. Baik itu suka, sayang, apalagi cinta. Harusnya Ayumi sadar, dalam kasus ini dia yang terlalu berharap. Terlalu percaya diri Angkara punya rasa yang sama padanya.

Terus menunggu. Terus saja menanti saat dimana Angkara mengungkapkan perasaannya yang dalam. Ayumi mendecih. Bisa-bisanya dia mengkhayal seperti itu. Padahal lelaki tersebut hanya menganggapnya seorang teman perempuan yang sangat dekat. Tak lebih dari pada itu.

Ayumi kembali mengingat ucapan Angkara yang membuatnya melambung waktu itu. Kejadian yang terjadi tepat dua belas bulan yang lalu. Momen yang mengawali Ayumi menganut pemahaman bahwa cintanya pada Angkara tidak akan berakhir mengenaskan.

[*****]

“Ehh, kamu ngapain?” tanya Ayumi kaget. Ketika Angkara sudah memegangi dahan pohon yang didudukinya.

“Aku mau naik juga. Kamu ke yang atas, Yum!”

“Ish!” Ayumi mendesis, tapi tetap menuruti perintah Angkara. Tidak ke dahan yang di atas, melainkan dahan yang ada di depannya.

“Ini pohon apa sih, Yum?” tanya Angkara ketika bokongnya sudah duduk nyaman di dahan tadi yang Ayumi tempati. Pandangannya mengeliling memperhatikan buah-buah yang ada di pohon tersebut.

“Pohon kersen.”

“Apa, ker-sen?”

Ayumi hanya mengangguk. Malas mengulangi perkataannya.

“Aku gak pernah denger, tuh. Pohonnya aja baru lihat sekarang.”

“Ah, kamu aja yang gak tahu.” Ayumi membuka HP-nya. Kembali sibuk dengan benda tersebut. “Mungkin di Sukasenang emang jarang, sih. Tapi di sekitar sini banyak, kok.”

“Jangan maen HP terus atuh!” Angkara berusaha mengambil benda tersebut. Tapi ketangkasan tangan Ayumi lebih cepat.
“Kita, ‘kan lagi seru-seruan.”

“Bentar dulu, ih. Aku lagi balesin WA di grup.” Ayumi mengetikkan sesuatu di sana. Lalu segera menyimpan ke saku celana setelah menyelesaikannya. “Di depan rumah kamu ada kayaknya. Yang deket masjid, ning,” kembali membahas pohon kersen yang asing di mata Angkara.

“Iya gituh? Asa gak ada, ah,” ujar Angkara meragukan penglihatan sahabatnya.
“Banyak yang merah, Yum. Asak ini, téh?” dia menunjuk salah satu buah kersen yang merah di hadapannya. (perasaan, masak)

“Iyalah,” Ayumi terkekeh geli. “Nah, kalau yang ini buruk.” Memberikan buah kersen merah yang lebih kehitam-kehitaman pada Angkara. Lagian aneh-aneh saja, masa yang seperti itu tidak tahu. (busuk)

Geleuh atuh, Yum!” Angkara melemparkan kersen sedetik setelah mengenai kulit telapak tangannya. Ekspresinya menandakan ketidaksukaan itu. (jijik)

Simpang AyuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang