Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]
“Cantik,” ucap seseorang yang sedang memegang HP. Dia berada di tengah-tengah kedua temannya.
“Eh, ini … Kak Yumi, kan?” tanya laki-laki yang ada di sebelahnya. Si laki-laki yang tadi mengiyakan ucapan temannya.
“Iya ih. Kok lo bisa punya nomor WA dia sih?” tanya yang satunya.
“Bisa, dong. Apasih—“
“Tunggu-tunggu. Bukannya dia pelit banget ya masalah nomer?” timpal yang satunya. Memoton ucapan si pria yang memegang HP.
“Iya, katanya sih gitu. Tapi gue punya jalur cepat, dong.”
Ayumi buru-buru pergi meninggalkan tempat itu, ketika salah satu dari mereka sepertinya menyadari kehadiran seseorang di sana. Masih terdengar sayup-sayup suara mereka membahas tentang dirinya. Ayumi semakin mempercepat lagkah agar semakin dekat ke tempat tujuan.
Mengambil sandal merek Suwer ukuran 12, lalu membayarnya. Saat berbalik Ayumi menyadari mereka masih berada di sana. Dan sepertinya masih akan betah lama. Ayumi lebih memilih jalan memutar untuk pulang. Memang lebih jauh, tapi lebih baik daripada harus melewati pos ronda lagi.
Ayumi tahu siapa pemuda-pemuda itu. Yang dua adalah warga di dusunnya. Satu RT lagi dengannya. Oni dan Rudi. Mereka selalu satu sekolah dengan Ayumi. Mulai dari SD hingga SMA. Dan yang satu lagi tentu saja si murid baru di SMA Bineka. Dan juga orang yang baru saja pindah ke dusun sebelah. Yang parahnya, Ayumi baru tahu akhir-akhir ini dari Sergio, kalau Angkara adalah warga di dusun sebelah.
Ayumi kembali tersipu ketika mengingat apa yang dikatakan Angkara tadi. Menyingkirkan dulu fakta bahwa si orang nyebelin itu memiliki nomornya. Ayumi lebih kepikiran dengan ucapannya yaitu, “Cantik.” Aduhh, bisa-bisanya Ayumi mendengar suaranya saat ini.
Jujur saja, Ayumi senang bukan main saat ini. Pasalnya, baru sekarang ada seorang laki-laki yang menyebutnya cantik—tentunya selain ayah dan kakaknya. Dan yang lebih mengagetkan, kata itu keluar dari mulut Angkara Siji Witama, orang rese bin nyebelin yang selalu membuat risih. Ayumi bahkan yakin dirinya sudah membenci Angkara. Aduuh, bagaimana bisa dia malah membuat Ayumi bahagia seperti ini?!
“Mayumi! Jangan ngelamun terus nanti kesambet, loh!”
Ayumi menegakkan kepalanya. Melihat Sergio yang sedang duduk di lantai teras depan rumah. Ayumi baru menyadari, ternyata dia sudah sampai di depan rumahnya. Saking sibuknya memikirkan Angkara, Ayumi sampai tak sadar jika dirinya telah berbelok di persimpangan warung Bi Dati.
Ayumi segera mendekati kakaknya. “Ngapain sih duduk di bawah, Kak? Kayak gak ada kursi aja.”
Sergio menengadah, “Beli sendal dimana sih, Yuumm? Di pasar Sukasenang?” bukannya menjawab dia malah balik bertanya. Lengkap dengan wajah yang sungguh mengesalkan.
“Ituh, warung yang deket pos ronda. Soalnya Bi Dati belum buka.”
“Tapi itu, kan cuma lima menit dari sini Ayumii. Kenapa bisa sampai delapan belas menit kamu ke sana?” kesal Sergio tak habis pikir dengan adiknya.
“Aku lewat jalan yang muter,” ujar Ayumi sembari memperlihatkan cengirannya.
Sergio hanya terdiam tak percaya. Ekspresinya seolah mengatakan, “Yang bener aja ai kamu!”
“Sekalian olahraga, Kak.”
Sergio tak menanggapi lagi ucapan adiknya. Dia memakai sandal capit berwarna hijau tersebut. Setelah itu berlalu mendekati motornya.
“Ih, kakak mau kemana?” tanya Ayumi bingung.
“Mancing, Yumi. Tadi, kan kakak bilang,” ujarnya sambil memakai helm.
“Ih, kapan ai kakak? Belum ge bilang.”
“Hah? Belum gituh?” tanya Sergio dengan muka bingungnya.
Ayumi kesal. Bisa-bisanya di saat gitu muka kakaknya masih bagus-bagus aja. “Jangan kayak gitu mukanya! Tambah jelek!” tangan Ayumi dengan tidak sopannya mengusap wajah kakaknya dengan tiba-tiba.
“Apaan sih gak sopan kamu teh!” Sergio menatap aneh adiknya. Seolah berkata, “Ohh, udah mulai gak sopan ya.” Sergio mencubit pipi Ayumi dengan gemas.
“Ya, abisnyaa … udah mah jelek, tambah jelek!”
“Kakak sih curiga kamu muji kakak.” Sergio menatap curiga Ayumi yang masih saja diam dicubit pipnya. Bahkan alisnya sampai naik turun. Senyuman jeleknya malah makin menjadi. Menyebalkan.
“Ih, apaan! Udah jelas-jelas aku ngatain kakak jelek. Udah yuk, ah!”
Sergio tertawa senang. Sudah pasti karena tahu apa yang sebenarnya Ayumi bicarakan. Aneh. Adiknya itu mau muji aja gengsi.
Setelah menyingkirkan tangan Sergio dari pipinya, Ayumi dengan senang hati terdiam saat kakaknya memakaikan helm pink miliknya.
“Pintu udah di kunci?” tanya Ayumi setelah mendudukkan diri di jok belakang. Sergio hanya mengangguk sebagai jawaban.
[*****]
“Mana sih, Kak, kok gak ada-ada ikannya?” tanya Ayumi heran. Saat ini Ayumi dan Sergio sudah berada di tempat pemancingan. Sudah sepuluh menit Ayumi duduk di kursi kecil yang disediakan.
“Sabar dong. Ini tuh sengaja, buat ngelatih kesabaran.” Berbeda dengan Ayumi yang sedari tadi memegang terus gagang pancingan. Sergio malah sibuk memotret pemandangan di sekitarnya. Di depan sana terbentang sawah yang sangat luas. Warna hijaunya sungguh menenangkan hati. Pancingan miliknya malah dikaitkan pada celah kursi yang dia duduki.
“Mayumiii!” Sergio mengarahkan HP-nya ke arah Ayumi.
“Mayumiii!” Ayumi berpose dua jari sembari menampilkan senyum lima jari yang memperlihatkan giginya. Memang lain daripada yang lain, Ayumi dan Sergio tidak pernah mengatakan ‘cheese’ untuk menampilkan potret gigi manis. Melainkan dengan kata ‘mayumi’ sebagai penggantinya.
Ayumi kembali dengan wajah kesalnya. Melihat air yang bergoyang menantikan kedatangan ikannya. Dan Sergio kembali memotret pemandangan indah di sekelilingnya. Ayumi sampai bingung, nih kakaknya mau mancing, atau foto-foto sih.
Satu jam lima belas menit kemudian.
“Mana sih ikannya gak dapet-dapet, heran deh!” Sergio mendumel. Terus mengangkat-angkat pancingan berharap ada ikan yang nyangkut di kailnya.
“Sabaar. Ini, kan sengaja buat ngelatih kesabaran,” ledek Ayumi menirukan suara kakaknya tadi. Lalu terkekeh-kekeh karena melihat raut wajah Sergio.
“Ini sih, udah kelewatan, Yum. Masa udah satu jam gak dapet-dapet?” Sergio menaruh kembali pancingannya. Lalu berdiri, matanya mencari-cari keberadaan si pemilik kolam.
“Mang!” tangannya melambai pada orang di seberang kolam. “Ini tuh adaan ikannya gak sih, Mang? Perasaan gak dapet-dapet mulu ikannya.”
“Ada, Gi. Sabar aja. Lagi tidur kali.”
“Awas, ya kalau gak ada. Gue mau uang kembali, Mang!”
“Siap. Nanti tampolan urang ya, ikut balik!” canda Mang Dodi, pemilik kolam pemancingan ini. “Sabar geura, Gi. Aya geura, yeuh di dieu ge aya.”
Mang Dodi melemparkan pelet ke kolam, dan ikan langsung bermunculan berebutan memakannya. Dia sengaja melempar sedikit hanya untuk pembuktian.
“Yaahh, tong diparab atuh, Mang. Nanti gak mau ke sini atuh.”
“Tenang. Yeuhh, ku urang bantuan.” Mang Dodi berjalan mendekat sambil bawa pancingan. Duduk di dekat Sergio, lalu melemparkan kail ke dalam air.
Ayumi kira Mang Dodi akan langsung mendapatkan ikan dengan mudah. Tapi nyatanya tidak. Waktu sudah berlalu beberapa menit. Namun tak ada tanda-tanda kail bergerak. Ketika Ayumi sudah pesimis dan Sergio sudah akan mengomel lagi, bagai penyelamat, Mang Dodi akhirnya mendapatkan ikan pertamanya.
Dengan lihai Mang Dodi mengangkat pancingan, lalu mendekatkan kail dengan tubuhnya. Ikan mujair besar itu bergoyang-goyang. Dengan cepat Mang Dodi melepaskan kaitan kail pada mulut ikan. Setelah itu lagsung memasukkan ikan ke dalam ember yang ada di dekat Sergio.
Tanpa diduga, datang Angkara dari arah Selatan. Dia menghampiri Mang Dodi yang sedang asik melepaskan ikan dari kail pancing untuk yang kedua kalinya. Ternyata Angkara sangat mengenali Mang Dodi, mereka bahkan sampai berbincang-bincang lama, melupakan Sergio dan Ayumi yang juga masih ada di sana.
Sedari tadi, Ayumi dan Sergio sudah mendapatkan pergerakan ikan, namun selalu gagal saat kail akan diangkat atau dilepaskan dari mulut ikan. Sergio sampai kesal sendiri karena selalu gagal membawa ikan masuk ke dalam embernya.
“Eh, Kak, Kak, dapet nih!” heboh Ayumi ketika mendapatkan ikan untuk yang ke-sekian kalinya. Namun baru kali ini dirinya berhasil sampai sejauh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Ayura
Novela JuvenilAyumi membenci seorang murid pindahan yang berstatus sebagai adik kelasnya. Dia selalu risih ketika sosok tersebut hadir di hadapannya. Sialnya, Ayumi tidak dapat menghindar karena kelas mereka bersebelahan. Akan tetapi, hati selalu berkata lain, se...