Livia memperhatikan lalu lalang pengendara motor di depan rumahnya. Malam ini ia butuh inspirasi. Segelas kopi saja tidak cukup untuk mendapatkannya. Ia butuh penyegaran pada otaknya. Hampir satu bulan ia menyelesaikan pesanan dari seorang ibu yang akan menikahkan anaknya. Mereka memesan baju yang sama untuk seluruh keluarga. Semua itu membuat Livia merasakan jenuh.Kebetulan sekali ini malam Minggu, seharusnya ia jalan-jalan bersama pasangan. Tapi nyatanya, Livia duduk termenung dengan setumpuk kertas di sampingnya.
"Ah, kapan sih gue ketemu jodoh? Bosen deh, malming cuma gini-gini, aja," ucapnya kesal.
Kembali Livia menyeruput secangkir kopi di tangannya. "Pait, suram, kayak kisah percintaan gue."
Livia mencomot ubi goreng buatan ibunya. "Bukannya manis, rasanya malah asin. Sama kayak perasaan gue, yang baru aja dibaperin, dikasih harapan, eh tiba-tiba ditinggalin tanpa pamit." Walaupun rasanya tidak sesuai ekspektasi, Livia kembali memasukan potongan ubi itu ke dalam mulutnya.
"Bukannya dapet inspirasi, gue malah kena virus iri. Lihat orang-orang boncengan naik motor, mau otw malam mingguan. Hadeuh, nasib jomblo," dumelnya. Livia mengambil tumpukkan kertas dan baki berisi cangkir dan gorengan ubi. Livia kembali memasuki rumahnya. Tidak baik bagi para jomblo sepertinya menongkrong di jam-jam seperti ini.
Livia menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas kursi yang bahkan sudah tidak berasa empuknya. "Nasib. Nasib. Jomblo mah gini. Mau ngajak si Dela keluar, dia pasti lagi pacaran tuh sama doinya. Dia kan bucin," ucapnya lagi dengan mata terpejam. Livia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Untung gue masih punya kursi untuk bersandar."
Livia memejamkan matanya lelah. Ternyata mencari inspirasi itu sangatlah sulit. Padahal niatnya ingin mengikuti lomba fashion show yang akan dilaksanakan bulan depan.
"Makanya, cari jodoh sana. Terus nikah, bebas deh bisa sender-senderan," ucap ibunya yang baru saja kembali dari dapur.
Livia pun membuka matanya malas. Ia menegakkan posisi duduknya.
"Emangnya, Jang Ido gak ngajak kamu malam mingguan, Liv?" tanya ibunya sambil duduk di kursi seberangnya.
"Dia udah lama gak nganter paket. Namanya juga cowok, Bu, ngomong aja ciga nu enya, padahal mah cuma baperin doang."
Kembali Livia memasukkan gorengan ubi ke dalam mulutnya. Setidaknya, mulutnya itu tidak akan kesepian seperti hatinya.
"Ya, makanya, kalo disuka cowok tuh, ya, respon atuh. Jangan bikin dia nunggu, apalagi kalo nunggunya tanpa kepastian. Ya, kaburlah mereka."
Livia memutar bola matanya malas. "Livia sengaja gantungin mereka, Bu. Karena Livia mau tahu, sampai titik mana mereka mau berjuang untuk mendapatkan Livia. Eh ternyata, baru beberapa hari ditolak aja udah langsung hilang. Kelihatan banget ghostingnya," sahut Livia dengan nada kesal.
"Ya, kamu mah bodo, atuh. Jemuran wae digantung mah bakal diambil orang, apalagi laki-laki. Jangan kamu pikir, perempuan aja yang gak mau digantung, laki-laki pun gak mau. Apalagi laki-lakinya modelan Jang Ido, duh, kalo Ibu masih muda juga pasti Ibu udah pilih dia. Terus, dia tuh kurir. Tiap hari masuk kampung baru, sudah dipastikan mencari perempuan cantik itu bisa dengan mudah."
Seketika Livia merasa was-was. Benar apa yang dikatakan ibunya. Ridho itu tampan. Bukan hal yang susah baginya untuk menarik hati perempuan.
***
"Selamat pagi, dunia tipu-tipu," ucap Livia sambil membuka jendela kamarnya.
Pagi yang cerah di hari Minggu.
"Selamat pagi kembali, perempuan yang mudah ditipu. Bilangnya sayang, ternyata ghosting doang. Inget, ya, Neng, laki-laki itu dipegang duitnya jangan janjinya," ucap salah satu ibu yang tengah berkumpul bersama ibu lainnya di tukang sayur.
Livia mendengus mendengar ucapan si ibu. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Dengan setelan kaos oblong dan celana trening, Livia melangkah kakinya keluar rumah.
Pagi ini cuaca sangat indah, tapi sayangnya tidak seindah suasana hatinya. Tapi meskipun begitu, Livia harus tetap semangat. Langkah kakinya membawanya memasuki area taman alun-alun. Di hari Minggu seperti ini, banyak golongan manusia yang tengah melakukan olahraga.
Dimulai dari balita hingga lansia, semua ada. Yang berpasangan hingga yang sendirian seperti dirinya pun ada. Livia kembali mendengus menyadari kenyataan ini. Lagi-lagi ia harus melihat keromantisan orang lain.
Ia menghapus keringat yang muncul di dahinya. Livia memilih untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Cuaca yang terik membuat tenggorokannya meronta ingin disegarkan. Tapi sayangnya, kakinya terlalu malas untuk digerakkan. Alhasil, Livia hanya duduk selonjoran di kursi yang harusnya digunakan berduaan.
"Sayang, sini. Itu keringatnya, sini aku hapusin."
Rasanya Livia ingin muntah saat ini juga. Bukannya merasa iri, Livia justru merasa jijik. Bukannya romantis, malah terlihat alay.
"Yang, haus, beliin minum." Kembali pendengarannya menangkan pembicaraan yang tak seharusnya kaum jomblo dengarkan. Karena hanya akan menambah beban pikiran.
Tiba-tiba Livia merasakan dingin di dahinya. Livia pun mendongakkan kepalanya dan betapa terkejutnya ia bertemu dengan pria yang hampir seminggu ini ia rindukan kehadirannya.
"Makanya, Neng, nomor saya jangan diblok. Kan lumayan kalo mau minta tolong temenin malam mingguan atau joging gini."
Livia belum kembali ke alam sadarnya. Entah karena cuaca yang terlalu terik atau pun suasana hatinya yang belum membaik.
Livia masih setia bungkam dengan mulut terbuka membentuk huruf o."Balem, Neng. Udah gak usah kaget gitu. Rindu, ya, sama saya? Ya, udah, sini peluk."
Ridho membuka tangannya lebar-lebar. Bukannya memeluk Ridho, Livia malah memukul kepala Ridho dengan botol berisi minuman penyejuk.
"Gak usah mimpi. Rindu sama lo adalah pilihan kesekian yang mustahil gue pilih."
Nyatanya hati mengkhianati lisan. Karena jauh di lubuk hatinya, ingin sekali Livia memeluk tubuh kekar di hadapannya.
***
Akhirnya bisa up.😚 Makasih udah selalu nunggu cerita ini. Dan maaf belum bisa publish di facebook, karena adminnya lama acc. Wkwkw
Sayang kalian banyak-banyak.❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)
RomanceCerita ini akan saya revisi secara bertahap. Mohon maaf apabila alur dirasa tidak nyambung. *** Ridho tidak pernah menyangka, jika pekerjaan yang ia anggap sepele justru membawa dampak besar baginya. Pertemuannya dengan seorang customer judes dan b...