4

3.2K 466 13
                                    

"Assalamu'alaikum. Punteun!" teriak dari gerbang rumahnya.

Livia yang masih bergelut dengan rutinitasnya pun buru-buru bangkit.

"Mangga," sahutnya.

Livia membuka pintu kayu rumahnya. Pintu yang beberapa bulan ini menjadi korban kemarahannya.

"Paket. Dengan Neng Livia?"

Livia mendesah kecewa. Namun, tak urung menganggukan kepalanya.

"Nih, uangnya. Makasih, ya, A," ucap Livia lesu.

"Sami-sami."

Livia melangkahkan kakinya tidak semangat. Beberapa hari ini, kurir yang suka mengantar paket ke rumahnya berganti orang. Livia tidak tahu apa penyebabnya. Tapi tiba-tiba pria itu menghilang dari dunianya.

Harusnya Livia merasa senang. Karena akhirnya pria itu berhenti mengganggu kehidupannya. Tapi ternyata hatinya tidak bisa berbohong. Ada ruang hampa yang meronta ingin diisi. Ada tubuhnya yang mengharapkan sapaan.

"Kenapa gue galauin lo? Harusnya gue seneng lo pergi jauh dari hidup gue. Tapi kenapa, hati gue malah mengkhianatinya?" gumamnya sedih.

Livia memandang sedih ke arah paket di tangannya.

"Lo ke mana? Apa iya lo cuma main-main aja? Kenapa? Padahal nyokap gue udah suka sama lo?"

Seakan tersadar. Livia melempar paket di tangannya dengan asal. "Gue udah gila. Ngapain gue mikirin kurir gila itu?!"

Livia membuka bungkusan paket itu dan mengeluarkan beberapa helai kain yang sudah lama ia tunggu.

"Gue harus kerja. Biar dapet banyak duit. Oke, semangat Livia!"

***

Suasana kafe yang tadinya ramai mendadak hening karena gebrakan Livia. Livia membanting tas slempangnya dengan kasar. Begitu pula dengan cara duduknya yang tidak baik-baik saja. Minuman milik Dela, Livia teguk hingga tandas. Dela yang melihat itu pun mendengus.

"Lo, ngapain, sih? Datang-datang langsung ngamuk. Gak malu dilihatin orang?" bentak Dela kesal.

Seakan tersadar, Livia mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Livia menunjukan deretan giginya dengan perasaan tidak enak kepada para pengunjung.

"Maaf semua," cicitnya pelan.

"Makanya jangan malu-maluin!" sindir Dela.

Livia melotot ke arah Dela. "Enak aja. Gue gak malu-maluin ya!"

Dela berdecak. "Gak malu-maluin. Tapi ngerakeun!"

Livia tidak memperdulikan ucapan sahabatnya itu. Semangkuk mie di depannya, Livia lahap dengan cepat. Dela yang melihat itu bergidik ngeri. Ada apa gerangan dengan sahabatnya itu?

"Lo kenapa, sih? Abis putus cinta lo?"

Uhuk

Livia yang tengah makan dengan terburu pun tersedak kaget. Dela yang melihat itu pun buru-buru menyodorkan segelas teh ke arah Livia. Semua itu tak lepas dari pandangan Dela. Dela semakin curiga dengan Livia.

"Lo ngapain sih, ngomong sembarangan?" gerutu Livia.

Dela tersenyum smirk. "Sembarangan, ya? Masa sampe batuk-batuk, gitu? Atau jangan-jangan ...."

Dela menggantungkan ucapannya. Livia menaikan sebelah alisnya.

"Jangan-jangan apa? Udah gak usah mikir macem-macem!"

Dela menganggukkan kepalanya. Walau sebenarnya masih ada rasa penasaran di hatinya. Lagipula ia yakin, lambat laun sahabatnya itu akan bercerita.

"E-eh, Del," panggil Livia pelan.

Dela yang tengah fokus bertukar kabar bersama kekasihnya pun mendongakkan kepalanya.

"Naon?"

Terlihat raut keraguan di wajah Livia. "Emm ... anu."

Alis Dela berkerut curiga. "Anu apa, woy? Sejak kapan, deh, sahabat gue yang bar-bar ini jadi gagu?"

Livia berdecak. Bisa-bisanya sahabatnya itu menggodanya di saat Livia gugup.

"Bokap lo kan yang punya ekspedisi, lo tahu kurir yang bernama Ridho?"

"Pfttt." Dela menutup mulutnya guna menahan tawa.

Livia yang mendapat tawa ejekan dari Dela pun melempar tisu ke arah Dela.

"Apa-apaan, sih? Gue serius. Kok, malah diketawain," ucap Livia cemberut.

Setelah berusaha menetralkan tawanya, Dela pun berujar dengan santai. "Ya, lagian gue gak nyangka aja. Seorang Livia, yang terkenal punya selera tinggi dalam memilih pasangan, jatuh cinta pada seorang kurir?"

Tawa yang sedari tadi berusaha Dela tahan mati-matian pun akhirnya meluncur begitu saja. Livia yang merasa malu dengan ulah sahabatnya itu pun menutup mukanya dengan tasnya. Setelah perhatian pengunjung lain beralih, Livia menggeplak kepala Dela menggunakan tas.

"Dasar, lo, ya. Kalo ngomong dijaga, mana mungkin gue naksir kurir!"

Dela meledek Livia yang berbicara dengan gugup.

"Gak usah malu-malu, deh, ah."

Livia mengembungkan pipinya kesal. "Berhenti ketawain gue dan cukup jawab pertanyaan gue."

Dela berusaha menetralkan tawanya yang tak bisa berhenti. "Mana gue tahu. Gue kan gak kerja di sana. Lagian, kalo lo mau tanya soal pegawai, sebaiknya lo tanya kakak gue, karena dia lebih tahu segalanya."

Livia mendesah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.

***

Arghhh

Prangg

"Irfan sialan! Gara-gara lo, gue gak ketemu calon istri, 'kan?"

Ridho mengacak rambutnya kasar. Dasi yang semula tertata rapi di lehernya pun sudah Ridho lempar entah ke mana.

"Kok, lo nyalahin gue? Harusnya lo yang sadar, bego. Kalo lo absen meeting kali ini, gue pastikan perusahaan yang udah bokap lo rintis ini bakalan ancur secepatnya," sahut Irfan cuek.

Tidak nampak raut ketakutan di wajahnya, padahal atasannya itu tengah memarahinya habis-habisan.

"Makanya, bos, kalo jatuh cinta itu sewajarnya. Harus sadar juga sama dunia. Jangan mau dibutakan cinta," ucap Irfan menasehati.

Ridho mendengus. Ia menatap layar ponselnya nanar. Ingin sekali tangannya menayapa wanita itu, tapi ia teringat dengan nomornya yang sampai saat ini masih diblokir.

"Masih diblok ya, Bos? Kasihan," ledek Irfan.

Pria itu tengah dengan santai menyesap kopi pahit milik Ridho.

"Cuih. Dasar lagi galau, muka surem, kopi juga ikutan pait. Miris gue. Kasihan, mana masih muda," ejeknya lagi.

Ridho tidak memperdulikan ucapan sahabat sekaligus sekretarisnya itu. Ridho tengah asyik memandangi potret wajah Livia yang diam-diam Ridho ambil ketika wanita itu tengah memakan seblak tempo hari.

"Haduh, belum juga seminggu Aa gak ketemu kamu, Neng, rasa ini sudah menggunung saja. Memenuhi rongga paru-paru, yang menyebabkan Aa susah bernapas," gumam Ridho yang masih bisa Irfan dengar.

Pria itu bergidik jijik. "Najis. Bucin!"

***


Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang