Ridho memasuki sebuah gedung lima belas lantai yang sudah hampir lima tahun ini ia kelola. Gedung yang beberapa tahun terakhir menjadi rumah kedua baginya. Hari-harinya ia lalui dengan setumpuk kertas dan setumpuk paket yang harus ia antar. Gedung ini masih tetap sama, tetap bersih dan terawat. Tapi sekarang gedung ini sudah lebih maju di tangannya. Berkali-kali Ridho mengucap syukur atas kemudahan yang Tuhan beri untuknya.Ridho Mahardika Atmaja Sutomo, putra sulung dari Atmaja Sutomo, pemilik salah satu ekspedisi pengantar paket yang lumayan terkenal di negaranya. At Express adalah nama ekspedisi yang dibangun dari nol oleh Bapak Atmaja. Perusahaan ini sudah berdiri hampir sepuluh tahun. Namun, sayangnya sang ayah tidak bisa mengelola perusahaan itu lebih lama. Tepat di usia perusahaan menginjak angka lima, Bapak Atmaja Sutomo menghembuskan napas terakhirnya di salah satu rumah sakit di kota Bandung.
Awalnya tugas itu terlalu berat baginya. Ridho yang memang kuliah jurusan teknik, tiba-tiba diberi tugas mengelola sebuah perusahaan pengantar barang. Tapi beruntunglah ia yang mempunyai otak cerdas, hingga dengan mudah Ridho bisa mempelajari tugas-tugasnya.
Hari-hari di kantor terasa membosankan baginya. Hingga suatu hari ide gila muncul di benaknya. Selain sebagai pemilik dari ekspedisi tersebut, Ridho juga merangkap sebagai pekerja. Awalnya semua orang menolak ide gila Ridho, terutama Irfan sang sahabat. Rasanya tidak pantas jika seorang pemilik justru menjadi karyawan pengantar paket. Padahal harusnya Ridho duduk di atas kursi empuk, tapi ia lebih memilih berkeliling di bawah teriknya matahari. Pada akhirnya, baik ibunya, adiknya dan Irfan sekali pun tidak bisa melarangnya.
Bagi Ridho, mengantar paket itu menyenangkan. Ia bisa dengan bebas berbincang bersama pengguna jasanya. Ia juga bisa mengetahui secara langsung keluhan dari pengguna jasanya. Selain itu, kegiatannya itu membawanya pada perempuan yang selama ini selalu Ridho nanti kehadirannya.
Dua puluh lima tahun ia hidup, jatuh cinta hanya beberapa kali ia rasakan. Tapi cinta yang paling dalam, Ridho rasakan ketika bertemu dengan perempuan galak nan judes tempo hari. Perempuan itu yang membuatnya mengerti apa arti jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Perempuan itu yang memberi pelajaran padanya untuk lebih menghargai kehadiran seseorang. Perempuan itu pula yang membuatnya merasa bersyukur dengan kehidupannya. Sama-sama tidak memiliki ayah, membuat Ridho mempunyai keinginan untuk menjaga perempuan tersebut. Membayangkan perempuan itu membuat Ridho tersenyum di sela langkah kakinya.
"Selamat pagi, Pak. Mengapa Bapak tersenyum-senyum sendiri?" tegur Renata---petugas resepsionis di kantornya.
Seakan tersadar, buru-buru ridho menetralkan ekpresinya. Ia pun tersenyum pada pegawainya yang sudah bekerja sangat lama di perusahaannya.
"Selamat pagi, Renata. Tentu saja karena saya membayangkan kejadian yang membuat pipi saya tidak ingin berhenti tersenyum akhir-akhir ini," jawabnya mantap.
"Ma syaa Allah, semoga hari Bapak selalu menyenangkan, ya. Karena senyum Bapak menularkan semangat pada kita semua."
Ridho mengangguk. "Tentu saja. Saya ke atas ya, Ren," pamitnya yang dibalas anggukan oleh Renata.
Ridho itu sebelas dua belas dengan Atmaja. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya. Bagai pinang dibelah dua, mereka sangat mirip dalam segala hal. Bukan hanya parasnya yang sama-sama tampan, tapi mereka pun terkenal ramah dan dermawan.
Ridho pun masuk ke dalam lift dan menekan angka lantai teratas gedung ini. Tidak ada pembedaan di antara lift petinggi dan pegawai biasa, karena Atmaja tidak mau ada pembeda di antara mereka. Bagi Atmaja, semua yang menjadi penghuni gedung ini adalah keluarga.
Lift itu terhenti di lantai lima belas. Ridho pun keluar dan masuk ke dalam ruangan yang terlalu besar baginya.
"Selamat pagi, Irfan," sapanya pada Irfan yang tengah sibuk dengan ipadnya.
"Heeh, pagi, Bos. Baru tiba? Sudah sarapan?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari ipadnya.
Ridho mendengus. Tanpa mendengarkan pertanyaan dari sahabatnya, ia pun masuk ke dalam ruangannya dan duduk pada kursi kebesarannya.
Ridho melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Tapi sekuat apa pun dasi itu mencekik lehernya, lebih terasa mencekik lagi ketika ia menahan rindu pada Livia. Tak lupa ia membuka jasnya yang terasa gerah dipakai. Padahal di ruangan ini tersedia pendingin, tapi tubuhnya tetap panas karena menahan rindu pada Livia.
Ridho mendengus geli memikirkan dirinya yang menjadi bucin setelah bertemu dengan perempuan itu. Istilah bucin sendiri tak pernah ridho ketahui maknanya. Tapi kata Irfan, bucin itu ketika kita mempertaruhkan segala yang kita punya untuk orang yang kita cinta. Ridho pun tidak berani menyangkal ucapan Irfan, karena memang benar ia akan melakukan apa pun demi gadis pujaannya.
Entah kapan perasaan itu melingkupi hatinya. Awalnya ia hanya menyukai wajah Livia yang kesal karena dijahilinya. Tapi ternyata memang benar kata pepatah, cinta tumbuh karena terbiasa. Mendengar kata cinta membuatnya geli sendiri. Bagaimana bisa di usianya yang hampir seperempat abad itu baru merasakan jatuh cinta.
"Ngapain senyum-senyum pagi-pagi gini, Bos? Mikirin Livia, lagi? Udah sudahi saja. Nih, tugas lo banyak!" ucap Irfan sambil menyimpan tumpukkan berkas ke atas meja Ridho.
Ridho mendengus. Namun, tak urung membuka satu persatu tumpukkan kertas di hadapannya. Ia pun mengambil pulpen dan mulai membubuhkan tanda tangannya.
Irfan memperhatikan Ridho yang tengah fokus dengan berkas di hadapannya. Irfan merasa salut pada pria yang sudah lama menjabat sebagai sahabatnya itu. Pria itu mampu menangkap pekerjaan yang bukan pasionnya sama sekali. Pria itu gigih ingin mengembangkan perusahaan ayahnya. Akhirnya, pria itu sukses mengembangkan perusahaan warisan ayahnya dan Irfan turut bangga menjadi bagian dari kesuksesan At Expres.
"Bos, sampe kapan lo mau pura-pura?"
Ridho mendongak tak mengerti. "Pura-pura apa?"
"Ya, itu, pura-pura jadi kurir di depan Neng Livia lo."
Alis Ridho berkerut. Pandangannya kembali fokus dengan tumpukkan dokumen di depannya.
"Gue gak pura-pura. Selama ini gue kan emang kurir."
Irfan mendengus. Sahabatnya itu memang tidak pernah peka.
"Maksudnya, kapan lo mau jujur sama dia tentang lo yang sebenarnya?"
Ridho terdiam. Semua itu belum pernah terpikirkan olehnya.
"Gue gak tahu tapi diusahakan dalam waktu dekat, gue bakal cerita."
***
To be continued!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)
RomanceCerita ini akan saya revisi secara bertahap. Mohon maaf apabila alur dirasa tidak nyambung. *** Ridho tidak pernah menyangka, jika pekerjaan yang ia anggap sepele justru membawa dampak besar baginya. Pertemuannya dengan seorang customer judes dan b...