"Eh, Neng Livia, abis olahraga, ya? Rajin euy," ucap seorang pria yang kebetulan berpapasan dengan Livia dan Ridho.
"Bukan. Abis ngored. Udah tahu, kok, nanya?" sahut Ridho judes.
Livia mencubit pelan perut Ridho yang ada di depannya.
"Iya, A. Aa mau ke mana?"
Alis Ridho sontak berkerut. Tumben sekali wanita galak nan judes yang duduk di belakangnya ini berbicara lembut.
"Ini, Neng, biasa. Mau ke rumah mertua," sahut si pria tadi disertai kekehan.
Dapat Ridho lihat dari kaca spion mimik wajah Livia yang tiba-tiba berubah sendu. Ridho mencium bau-bau tidak sedap di antara keduanya.
"Ngapel mulu, A, pengangguran, ya?"
Mulut Ridho memang tidak bisa difilter. Ucapan itu meluncur dengan mulus dari bibir lemes Ridho.
"Ya, enggak atuh, A. Kan hari minggu mah, libur. Btw, Aa pacarna Neng?" Bukannya dibalas dengan kata-kata kasar, pria itu justru malah berujar dengan lembut dan sopan.
"E-eh, bukan, A. Kita mah cuma teman doang," sahut Livia terburu.
Ridho tersenyum kecut. Benar apa yang dikatakan Livia, mereka hanyalah teman. Tapi setidaknya sudah ada kemajuan. Awalnya kan Livia menolak kenal dengannya.
"Oh, teman. Semoga aja ada kemajuan ya, A."
Ridho mengangguki ucapan pria itu.
"Kalo gitu, Aa duluan ya, Neng. Mangga, A," pamit pria itu sopan yang dibalas anggukan oleh keduanya.
Motor mio milik Ridho pun berjalan masuk ke dalam gang. Gang yang akhir-akhir ini menjadi gang yang paling sering Ridho kunjungi.
"Neng suka ya, sama cowok tadi?" tanya Ridho tiba-tiba.
"Siapa sih yang gak suka sama A Padlan. Dia itu jadi primadona di sini. Semua perempuan pasti akan langsung jatuh cinta pada dia," sahut Livia yang sangat jauh dari ekspektasi Ridho.
"A Padlan itu tampan dan juga soleh. Dia gak pernah kelewat solat berjamaah. Tutur katanya sopan, lemah lembut, selalu bisa menghargai dan menghormati orang lain. Yang paling penting, dia gak pecicilan."
Seketika Ridho meringis dalam hati. Masalah fisik, ia dan Padlan sebelas dua belas bahkan menurutnya lebih gantengan dirinya daripada si Padlan-Padlan itu.
"Kalo Neng kira dia soleh, dia gak mungkin punya pacar atuh, Neng, kan dalam agama hukumnya haram. Aa juga bisa kok lemah lembut, sopan, menghormati yang lebih tua dan gak pecicilan. Tapi harusnya Neng tahu, seorang pria akan melakukan hal bodoh sekali pun untuk orang yang dia cinta. Sama seperti Aa, yang rela nurunin harga diri dan gengsi demi dapetin hati Neng."
Seketika Livia terdiam. Selama ini ia tidak pernah diperlakukan seistimewa ini. Memang banyak pria yang menyukainya, tapi di antara mereka tidak ada yang sesungguh dan seberani Ridho.
***
"Assalamu'alaikum," salam Livia ketika memasuki rumah.
Wanita itu menyimpan sepatunya dengan kasar. Suasana hatinya tiba-tiba berubah menjadi buruk. Apalagi setelah bertemu dengan seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya.
"Wa'alaikumsalam. Loh, Jang Ido, ke mana aja? Gak pernah nganter paket lagi."
Bukannya menyapa putrinya yang tergeletak tak berdaya, Siti justru menyapa Ridho yang baru saja memasuki rumahnya.
"E-eh iya, Bu. Kemarin teh ada acara keluarga, jadi ya libur dulu jadi kurirnya," jawab Ridho. Tak lupa ia mencium punggung tangan Siti dengan sopan.
"Tapi sehat, 'kan?"
"Alhamdulillah, Bu. Ibu sendiri gimana? Tambah seger aja kelihatannya," gurau Ridho disertai kekehan.
Siti pun ikut terkekeh karena candaan Ridho. "Kamu bisa aja, Jang. Alhamdulillah sehat."
Livia mendengus mendengar percakapan dua orang berbeda generasi di depannya. Daripada suasana hatinya semakin buruk, lebih baik Livia mandi saja. Ia pun bangkit dan memasuki kamarnya untuk mandi.
"Kenapa, dia?" tanya Siti sambil menunjuk Livia dengan dagunya.
"Gak tahu, Bu. Setelah ketemu sama pria yang namanya Padlan, Neng jadi aneh." Ridho mengambil secangkir teh yang dihidangkan Siti. "Ditampinya, Bu," ucap Ridho yang dibalas anggukan oleh Siti.
"Oh, pantes. Abis ketemu mantan, makanya suram."
Topik pembicaraan yang menarik bagi Ridho. Ridho pun menyimpan kembali cangkirnya ke atas meja.
"Mantan?" ulang Ridho.
Siti menganggukan kepalanya. "Bukan mantan. Tapi dulu, Padlan pernah suka sama Livia. Lagian Ibu juga suka aneh, anak gadis Ibu itu emang cantik, tapi galak. Tapi banyak juga yang ngantri. Sampe hampir semua pria di sini suka sama dia."
Ridho mengangguk paham. Saingannya banyak juga ternyata. "Terus, kenapa gak jadian? Padahal kayaknya Neng juga suka sama si Padlan-Padlan itu."
"Ekhem. Gibahin aku ya, Bu," dehem Livia yang baru saja keluar dari kamarnya dengan kain handuk yang menggantung di lehernya.
"Bukan gibah. Udah sana, mandi. Bau!" Usir Siti.
Livia mendengus. Namun, tak urung ia berjalan meninggalkan ruang tamu.
"Terusin, Bu!" titah Ridho tak sabaran.
"Ya, gitu, Jang. Livia itu punya pendirian untuk gak pacaran. Ibu tahu putri Ibu itu belum sempurna karena masih membuka auratnya, tapi percayalah, dia teguh dalam agama. Katanya dia gak mau pacaran sebelum halal. Dia lebih baik langsung dilamar aja. Mungkin karena sering menolak pria, jadinya ya gitu, jomblo sampai hari ini."
Ridho kembali menganggukan kepalanya.
"Ya, begitu pula dengan Padlan. Dulu, Padlan juga sama kayak kamu. Apalagi dia itu sopan, sering main juga ke sini, persis deh kayak kamu. Tapi ya gitu, Livia kecewa. Livia pikir Padlan itu laki-laki yang soleh, baik akhlaknya, lembut tutur katanya, tapi pandangannya berubah ketika Padlan mengajak Livia berpacaran."
Ridho tidak bisa merespon apa-apa. Dia hanya bisa menganggukan kepalanya.
"Emang Livia suka cerita ke Ibu?"
Siti mengangguk mantap. "Ibu yang suka mancing Livia cerita, karena Ibu gak mau anak perempuan Ibu satu-satunya salah jalan."
Kembali Ridho mengangguk. Ia sangat paham dengan posisi Siti. Sama seperti dirinya yang selalu posesif pada adik perempuannya.
"Ibu tahu ketika putri Ibu itu untuk pertama kalinya terluka karena mendengar Padlan punya kekasih dan langsung melamar kekasihnya. Tapi ya gitu, Livia hanya bisa menyesalinya. Maka dari itu, Ibu selalu mengingatkannya untuk jangan mengabaikanmu, Jang. Ibu tahu kamu orang baik. Ibu berharap kamu bisa menjadi pendamping Livia kelak. Ibu gak mau Livia kembali sakit. Ibu gak mau lihat dia menyesal. Ibu tahu, jauh dari lubuk hatinya, Livia pasti merasakan perasaan nyaman. Untuk itu, Ibu minta kepadamu, Jang. Jangan tinggalkan Livia, ya."
***
To be Continued!! ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)
RomansaCerita ini akan saya revisi secara bertahap. Mohon maaf apabila alur dirasa tidak nyambung. *** Ridho tidak pernah menyangka, jika pekerjaan yang ia anggap sepele justru membawa dampak besar baginya. Pertemuannya dengan seorang customer judes dan b...