14

2.3K 333 14
                                    

Sinar mentari siang ini tak tanggung-tanggung. Panasnya membuat siapa pun enggan melangkahkan kaki hanya untuk sekedar membeli minuman penghilang dahaga. Tapi tidak menghentikan kegiatan Livia sama sekali. Ia malah semakin bersemangat menemani Ridho siang ini. Padahal seharusnya ia tengah menikmati waktu luangnya untuk rebahan dan nonton drakor.

Entah mengapa, melihat Ridho yang lebih bersemangat hari ini menularkan kebahagiaan padanya. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana ramahnya Ridho berinteraksi dengan pengguna jasanya. Sempat tersebit rasa cemburu ketika melihat Ridho terlampau ramah pada para perempuan. Tapi ketika dengan bangga Ridho memamerkannya, membuatnya merasa menjadi ratu yang berharga.

Tiba-tiba rasa dingin menghinggapi keningnya. Saat ini ia tengah duduk di emper Indomaret. Entahlah, rasa malunya menghilang begitu saja. Livia mendongak dan menemukan Ridho yang tengah menatapnya dengan sebotol minuman dingin di tangannya.

"Jangan ngelamun, nanti kesambet. Nih, minum," ucap Ridho sambil menyerahkan botol minuman yang dipegangnya.

Livia menerimanya dengan suka hati. "Kamu gak minum juga?" tanyanya sebelum membuka tutup botol. 

"Gak, liat kamu aja udah bikin haus aku hilang," jawab Ridho yang tengah menatapnya dengan intens.

Livia memalingkan mukanya malu. "Apaan, sih?"

Livia meneguk beberapa kali minuman dingin itu. Mereka sama-sama terdiam menikmati suara lalu lalang kendaraan.

Livia menatap lurus ke arah jalanan. Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa jam lalu. Semuanya berada di luar kendalinya. Tak pernah terbesit sedikit pun di pikirannya untuk menemani Ridho bekerja siang ini. Padahal niatnya hanya untuk membeli camilan tapi malah nyasar entah ke kampung mana.

Harusnya ia berleha-leha di atas kasur, memeluk guling yang selama ini tak pernah meninggalkannya. Tapi walaupun begitu, Livia tidak menyesal sama sekali. Menjadi kurir lumayan menyenangkan.

Ia bahkan tidak sadar. Sejak kapan Livia mengganti panggilan lo-gue menjadi aku-kamu. Semuanya terjadi di luar kendalinya. Seolah tubuhnya tergerak untuk merespon perjuangan Ridho selama ini.

"Tuh, melamun lagi. Lagi mikirin apa sih, Neng?" tanya Ridho.

Livia menoleh dan mendapati wajah Ridho yang sangat dekat dengan wajahnya. Ia pun mendorong kening Ridho agar menjauh.

"Gak mikirin apa-apa," sahutnya cuek.

Ridho menghela napas. Ia menatap Livia yang kembali sibuk dengan jalanan di depannya. Entah apa yang tengah mengganggu pikiran gadis itu.

Tapi Ridho berinisiatif menarik kepala Livia agar bersandar di bahunya. "Kalo Neng cape,  bahu Aa selalu siap jadi sandaran." Ridho mengambil tangan Livia dan menggenggamnya dengan erat. "Tangan ini pun selalu siap menggenggam dan menguatkan Neng. Aa selalu siap kapan pun Neng butuh."

Livia tidak menolak perlakuan Ridho. Seolah raganya mendukung perlakuan itu. Jika biasanya menolak, hari ini seluruh organ tubuhnya justru setuju. Ia bersandar dengan nyaman di bahu kekar milik Ridho.

"Maaf kalo hari ini Aa bikin Neng susah. Harusnya Aa melarang Neng ikut. Neng pasti cape. Kaki Neng bakal pegel dan kulit Neng bakal rusak. Nanti kalo udah gajian, Aa ganti skin carenya, ya," ucap Ridho merasa bersalah.

Livia mengangkat kepalanya. Ia kembali menatap ke arah jalan dengan sesekali menatap Ridho yang juga tengah menatapnya.

"Aku sama sekali gak menyesal. Cape, mungkin iya. Lelah pun juga. Tapi aku gak peduli. Hari ini aku merasa bahagia. Rasa lelahku hilang ketika melihat mereka tersenyum menerima paket yang mereka tunggu. Rasa cape ini hilang ketika sadar siapa orang yang menemaniku. Dan untuk masalah skin care, kamu gak perlu menggantinya. Lagi pula aku ikhlas menemanimu. Uangnya tabung aja, katanya mau cepet lamaran," sahut Livia yang diakhiri dengan kekehan.

Ridho tersenyum lega. Entah mengapa perempuan di sampingnya terlihat lebih manusiawi hari ini. Semoga ini menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka.

"Aku gak pernah melihat perjuangan Ayah untukku, karena beliau meninggalkanku bahkan sebelum aku melihatnya. Tapi aku bersyukur, setidaknya aku masih bisa melihat perjuangan seorang Ayah." Livia menatap dalam manik mata Ridho. "Ayah dari anak-anakku kelak."

Ridho merasa dibawa terbang ke atas awan. Ia seperti dibawa ke langit yang begitu indah. Kata-kata yang Livia lontarkan membuatnya merasa bahagia. Ayah dari anak-anaknya kelak. Semoga semesta mengiyakan.

"Aa tidak berjanji rumah tangga kita tidak akan sulit. Tapi akan selalu Aa usahakan agar  mudah dan dijauhkan dari kesulitan."

Tatapan sinis, tajam dan menakutkan milik Livia, kini menjadi tatapan penuh kelembutan.

"Sesulit apa pun nanti, selagi kamu yang menemani, pasti terasa lebih mudah."

Ridho terkekeh dan menepuk kening Livia pelan. "Sejak kapan calon istri Aa ini jadi bucin?"

Livia mencebikan bibirnya. Padahal ia sudah menurunkan egonya kali ini.

"Apaan, sih? Lagi serius juga."

Ridho semakin terkekeh melihat wajah kesal Livia. Ia mencubit pipi Livia pelan.

"Iya, Neng. Asal sama kamu, dunia pun aku takluki.  Asalkan kamu berjanji untuk tidak meninggalkanku."

"Selagi itu bukan tentang kebohongan. Aku pastikan tidak akan meninggalkanmu," pungkas Livia seraya bangkit dari duduknya.

Ridho terdiam. Kebohongan. Apakah nanti ketika Livia tahu semuanya, Livia akan meninggalkannya? Membayangkannya membuat Ridho enggan untuk berkata jujur pada perempuan itu. Ia takut Livia pergi.

"Malah ngelamun. Ayo pulang. Ibu pasti nyariin, nih!" ajak Livia.

Bahkan Ridho tidak menyadari perempuan itu sudah berdiri di samping motornya.

"Ya udah, ayo," sahutnya seraya bangkit.

Apa pun yang akan terjadi nanti, biarlah menjadi sebuah kejutan baginya. Hari ini, detik ini, ia hanya ingin menikmati waktu lebih lama dengan perempuan yang sudah berhasil merebut hatinya. Walaupun nanti ia akan dibenci oleh Livia, setidaknya ia pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai. Ya, cinta. Ia yakin Livia sudah mulai mencintainya.

***

To be continued!!

Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang