21

2.3K 327 14
                                    


Prang

Buku, dokumen, pensil, vas bunga, kalender dan segala macam yang ada di meja Ridho, kini hancur berserakan. Sejak kemarin, pria itu amuk-amukan. Dia melempar barang apa pun yang ada di sekitarnya. Bahkan komputer pun akan Ridho banting jika Irfan tidak melarangnya.

Pria itu hancur. Hidupnya yang semula tertata rapi, penuh senyuman dan stuck di zona nyaman, kini berpindah haluan. Hidupnya terjungkir balik. Tawanya lenyap seiring dengan sumbernya yang memilih pergi. Penyesalan berkecamuk, tapi apalah arti penyesalan itu.

"Seandainya gue tahu jatuh cinta segoblok ini, gue gak mau merasakannya," lirih Ridho dengan tubuh yang perlahan ambruk.

Pria itu meninju sofa yang tengah didudukinya. "Seandainya gue tahu, mengenal wanita membuat hidup gue hancur, gak akan gue mengenal mereka. Makhluk paling egois, keras kepala, selalu merasa dirinya paling benar. Arghhhh astagfirullah."

Mata pria itu terpejam dengan tangan yang dikepal. Buku-buku jarinya memutih menandakan betapa kuatnya pria itu menahan emosi.

"Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Seandainya hamba memilih mencintaimu, mungkin tidak sesakit ini."

Irfan yang baru saja memasuki ruangan atasannya itu pun memijit keningnya. Ia sudah sangat lelah melihat kekacauan ini yang pada akhirnya memang Ridho sendiri yang akan membereskannya. Terkadang ia pun merasa heran. Untuk apa diacak-acak, jika pada akhirnya dia sendiri yang akan membereskannya, melelahkan. Mungkin peribahasa itu pula yang mencocok menggambarkan; untuk apa menaruh harap, jika harap itu pula yang akan menghancurkan kita.

"Bos, udah, yuk. Sudahi sedihmu. Ingat, meeting dimulai lima menit lagi," ucap Irfan lembut. Bagaimana pun juga Ridho adalah atasannya.

Tidak ada jawaban sama sekali dari pria itu. "Bos. Lo harus profesional. Lo milih meeting atau perusahaan lo hancur?"

Ridho bangkit dari duduknya. Pria itu menatap tajam ke arah Irfan. "Gue lebih baik kehilangan perusahaan, daripada kehilangan Tuhan. Bilang sama dia, gue salat duha dulu. Kalo dia gak mau nunggu gak papa, gue yakin Tuhan bakal ngelindungin gue."

Ridho melangkahkan kakinya ke arah ruangan pribadinya. Tidak baik melakukan pertemuan ketika suasana hatinya tidak baik. Lebih baik ia mengadu pada sang Pencipta.

Sedangkan Irfan menghela napas putus asa. Sungguh, jika saja ia tahu patah hati bosnya itu akan sekacau ini, sudah dari awal dia akan melarangnya.

***

Seperti biasa, Ridho memasuki ruang rapat dengan tampang maskulinnya. Rambut klimis yang tertata rapi, wajah pria itu pun nampak segar dengan sebuah senyuman terpatri di wajahnya.

Tapi senyuman itu lenyap ketika tatapannya bertemu dengan tatapan yang beberapa hari ini rindukan. Tubuh ramping yang beberapa hari ini ia inginkan kehadirannya. Dan wajah yang sama persis ketika mereka pertama kali bertemu.

Awalnya ia kaget, mengapa wanita itu ada di tempat ini, duduk pada kursi yang minggu lalu diduduki oleh CEO GZ Shop. Tapi ia tidak peduli akan itu. Ia bisa menanyakannya lain waktu. Tapi rasa rindunya tidak bisa ditunda.

Ridho menatap netra itu dengan sendu. Seakan ia tengah berbicara melalui sorot matanya, jikalau Ridho hancur tanpanya. Tapi wanita itu seakan enggan mengetahui keadanya. Bahkan dengan terang-terangan menatap Ridho dengan sinis.

"Maaf, Pak, rapatnya bisa dimulai?"

Suara dari Angga---sekretaris pribadi keluarga Zouch itu menginterupsi Ridho dari lamunan sedihnya. Pria itu merapihkan jasnya untuk menetralkan rasa gugupnya.

"Baiklah."

"Sebelumnya, mohon izin memperkenalkan CEO baru kami; Nona Livia Mariska Alesya Zouch. Beliau adalah putri tunggal dari Bapak Andrian Graham Zouch sekaligus pewaris dari GZ Shop."

Dunia Ridho seakan terhenti. Mengapa hidupnya dipenuhi dengan teka-teki. Setelah wanita itu marah karena Ridho membohongi, lalu sekarang identitas Livia yang sebenarnya. Apa maksud dari semua ini? Mengapa terlalu banyak teka-teki? Semua ini terlihat membingungkan.

Tatapan Ridho beralih pada Livia yang tengah tersenyum bangga. Apa selama ini wanita itu berbohong? Tapi, mengapa wanita itu terlalu kecewa pada Ridho, sedangkan dirinya sendiri adalah seorang pembohong.

"Pak Ridho, apa rapatnya bisa dimulai?" tanya Angga entah keberapa kalinya.

Ridho mengangguk. Tatapannya pun beralih pada Angga yang sudah siap mempresentasikan rapat hari ini.

Rapat pun dimulai. Anggi sebagai perwakilan dari GZ Shop pun menjelaskan perkembangan terkini terkait acara launching dan peresmian kerja sama antara At Expres dengan GZ Shop yang akan dilaksanakan pada bulan mendatang. Pria itu menjelaskan terkait brand ambassador yang sudah bersedia dan telah menandatangani surat perjanjiannya.

Tapi ada satu hal yang membuat Ridho bingung. Seharusnya launching dan promosi besar-besaran itu dilaksanakan satu bulan kemudian, tapi hari ini Angga mengumumkan akan dilaksanakan bulan depan di tanggal awal, yang artinya beberapa minggu dari sekarang.

"Maaf, bukannya launchingnya akan dilangsungkan bulan Mei? Lalu, mengapa mundur menjadi bulan April?" tanya Ridho menyanggah.

"Ah, saya melupakan satu hal. Sebelumnya mohon maaf, CEO baru kami, Bu Livia sudah mengubah kembali jadwal, dan akhirnya ditetapkan akan dilaksanakan bulan depan," jelas Angga sopan.

Alis Ridho berkerut. "Tapi itu terlalu cepat," protes Ridho.

"Mohon maaf Bapak Ridho, perusahaan kalian bukan perusahaan abal-abal. Saya yakin kalian akan bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat. Bukan begitu Pak Irfan?" jawab Livia dengan penekanan di setiap katanya.

Irfan mengangguk lesu, tugasnya semakin bertambah. "Iya, akan kami usahakan."

Livia tersenyum puas melihat raut wajah Ridho yang tidak bisa ia definisikan. Sejak awal Livia sudah mengira pria itu akan kaget. Dan benar saja, bahkan hingga acara selesai pria itu tampak kurang fokus.

Rapat pun dihentikan dengan keputusan yang sudah diambil. Para peserta rapat pun bubar hanya menyisakan Ridho yang masih bergelut dengan lamunannya.

Seakan tersadar, pria itu bangkit dan berlari kecil untuk menyusul Livia yang ternyata sudah pergi dari tempat itu. Pintu lift akan tertutup sebelum Ridho berhasil menahannya. Pria itu pun masuk ke dalam lift dan menekan angka yang dituju. Kebetulan sekali di dalam lift hanya ada mereka berdua. Suasana lift itu tampak hening. Livia seakan enggan menyapanya. Padahal mereka sempat menjadi penting sebelum kembali asing.

"Ada yang mau kamu jelasin?" ucap Ridho akhirnya.

Livia menoleh sopan. "Saya pikir rapat hari ini lumayan jelas dan saya yakin anda paham akan keputusan akhirnya."

"Bukan tentang rapat. Tapi tentang kita," cicit Ridho pelan. Beruntunglah di dalam lift itu hanya ada mereka berdua.

"Kita? Saya rasa tidak ada apa-apa di antara kita selain urusan kerja sama," jawab Livia yang kini sudah kembali fokus dengan ponselnya.

"Please, Liv, ada sesuatu yang harus kamu jelaskan padaku. Jangan berpura-pura seolah kita tidak saling mengenal," lirih Ridho. "Kamu harus menjelaskan padaku. Apa maksud dari semua ini?"

Livia menoleh dan menatap Ridho dengan pandangan tidak bersahabat. "Stop berbicara tentang kita. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, semuanya sudah selesai dan saya harap anda bisa lebih profesional."

Kebetulan sekali lift terbuka. Livia pun keluar disusul Ridho di belakangnya. Langkah Livia terlihat lebih cepat. Wanita itu berdiri di lobi. Terlihat sebuah mobil range rover berhenti di sana.

Seseorang keluar dari mobil itu dan menyambut tangan Livia dengan mesra. Mereka berdua sama-sama masuk ke dalam mobil itu. Ridho terdiam dan menatap nanar pada dua sosok yang begitu menyakiti hatinya. Sosok pria itu sepertinya Ridho kenal dengan baik.

"Semudah itu kamu berpaling. Apa benar selama ini kamu hanya kasihan?" lirih Ridho.


****

Tambah Gaje, hiks.

Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang