6

3K 404 51
                                    


Sekuat apa pun Livia menolak, Ridho tetaplah Ridho, yang selalu kekeh dengan pendiriannya. Seperti saat ini, mereka tengah berjalan beriringan di taman kota.

"Lo kenapa sih, ngikutin gue?" tanya Livia kesal.

"Lah, saya mah mau joging, Neng. Tapi kebetulan ketemu calon istri di sini, ya udah atuh bareng aja," sahut Ridho disertai cengiran.

Livia memutar bola mata malas. Sebenarnya hatinya tersenyum bahagia karena kehadiran Ridho. Tapi Livia gengsi harus mengakuinya. Apalagi saat ini mereka tengah menjadi tontonan orang-orang. Mungkin karena ketampanan Ridho, ditambah keringat yang muncul di dahinya menambah kesan sexy. Livia segera beristigfar setelah sadar telah memuji ketampanan Ridho.

"Neng, kenapa geleng-geleng? Cape?" tanya Ridho panik.

Handuk yang menggantung di lehernya pun Ridho tarik. Ridho mengelap keringat yang muncul di dahi Livia.

"Neng, keringat jangan dibiarin gini. Gak baik, nanti jadi kuman buat kulit," ucapnya. Ridho dengan telaten mengelap dahi Livia.

Livia terdiam di tempatnya. Posisi mereka yang berhadapan, membuat Livia menahan napasnya kaget. Livia mendongak untuk bisa melihat Ridho yang tingginya lebih darinya. Dari bawah, Livia bisa melihat betapa tampannya sosok kurir itu. Sosok yang biasanya jahil, pecicilan dan suka menggoda itu tampak serius kali ini.

"Kenapa, Neng? Saya tahu kok, saya tampan. Tapi jangan sampe ileran gitu, dong. Malu dilihatnya." Ridho mengusap pelan sudut bibir Livia. Perlakuan itu membuat Livia kembali ke alam sadarnya. Livia menghempas pergelangan tangan Ridho dengan kasar.

"Apaan, sih? Selalu kepedean jadi orang," ucap Livia kesal.

"Yakin? Kok, mukanya merah?" ledek Ridho jahil.

Livia berjalan memimpin di depan. Livia meninggalkan Ridho yang masih terkekeh karena puas menjahilinya.

"E-eh, Neng, jangan tinggalin saya dong. Saya gak kuat kalo ditinggal terus. Kemarin aja beberapa hari gak ketemu, saya udah kena virus rindu!" teriak Ridho sambil mempercepat langkahnya.

Livia tidak menghiraukan panggilan Ridho.

"Neng, harusnya saya yang jalan di depan. Saya kan imam," ucap Ridho kembali.

Kini mereka menjadi tontonan orang-orang karena aksi kejar-kejarannya. Livia pun punya ide jahil. Livia mengubah jalannya menjadi lari. Walaupun seorang perempuan, tapi tenaganya bisa sama dengan laki-laki. Ridho yang merasa kewalahan pun mempunyai ide jahil.

"Neng, jangan lari. Saya tidak pandai mengejar."

"Neng, jangan lari. Sepatu saya adidas, mudah copot."

"Neng, jangan lari. Nanti jatuh."

"Neng ...."

Tiba-tiba suara Ridho melemah. Livia yang merasa khawatir pun menengokkan kepalanya ke belakang.

"Astaga. Lo kenapa, woy?"

Livia kembali berlari ke arah Ridho. Ridho terbaring di atas lapang dengan keringat yang mengucur deras.

"Woy, lo kenapa? Jangan bikin gue khawatir." Livia menggoyangkan tubuh Ridho yang terkulai lemas. Tidak ada respon dari tubuh Ridho. Livia semakin panik dibuatnya.

"Ihh, jangan bikin gue panik. Gue khawatir. Bangun, yuk. Gue janji gak bakal judesin lo, lagi."

"Janji?" Tiba-tiba tubuh Ridho kembali duduk dengan tegak. Livia pun sontak menganggukan kepalanya.

"Yeay, akhirnya." Ridho memeluk tubuh Livia yang masih diam tak merespon. Seakan tersadar, Livia membulatkan matanya marah. Livia menghempas tubuh Ridho dengan kasar.

Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang