"Bisa minta waktu sebentar?"
Ridho yang tengah memperhatikan laptop di depannya pun tersentak kaget. Pasalnya di ruangannya tidak ada siapa-siapa, tidak terdengar suara pintu di buka, tapi tiba-tiba ada seseorang yang bersuara.
"Astagfirullah, Fauzi. Ngagetin aja, lo!"
Fauzi yang merasa bersalah pun hanya memberikan cengiran pada Ridho. Perlahan kakinya bergerak membawanya ke sofa. Ia pun duduk di sana dan memperhatikan Ridho yang kembali fokus dengan laptopnya. Menunggu beberapa menit mungkin tidak apa, pikirnya.
Beberapa menit kemudian terlihat Ridho yang mematikan laptopnya dan berjalan menghampiri Fauzi.
"Ada apa? Tumben ke sini," ucap Ridho yang kini sudah duduk di samping Fauzi.
"Enggak papa, kangen aja ngobrol sama lo," sahut Fauzi disertai kekehan.
Ridho yang mendengar itu pun ikut terkekeh. Dulu, ia dan Fauzi adalah partner berbincang yang klop. Baginya, Fauzi itu sosok narasumber yang bisa diajak berdiskusi tentang apa saja. Bahkan tentang dunia percintaan, Fauzi ahlinya.
Pintu diketuk dan munculah seorang office boy membawakan nampan berisi dua gelas kopi pesanan Ridho. Tadi, ia memang sempat menelepon Irfan untuk memesankan kopi ke ruangannya.
Setelah office boy itu keluar, suasana ruangan kembali hening. Entahlah, seperti ada jarak di antara mereka. Padahal biasanya selalu ada obrolan baru setelah obrolan lama selesai. Entah mengapa lidah Ridho pun terasa kelu. Ia takut salah berucap.
"Livia udah kehilangan nyokapnya sejak lahir. Ketika ia membuka matanya, nyokapnya justru menutup mata untuk selamanya. Kenyataan pahit yang harus dialami oleh Om Andri. Ketika itu, Om Andri merasa menyesal. Istrinya meninggal karena ulahnya. Andai saja dia tidak memprioritaskan perusahaan, mungkin istrinya tidak akan meninggal," ucap Fauzi.
Ridho tidak mengerti mengapa Fauzi menceritakan kehidupan Livia. Tapi mungkin Fauzi tengah membutuhkan telinga untuk mendengarkan. Maka dari itu, walaupun sakit, ia akan berusaha menjadi pendengar yang baik untuk sahabatnya itu.
"Semua orang udah ngebujuk Om Andri, bahkan nyokap gue pun udah coba kasih pengertian."
"Oh, nyokap mereka bersahabat," ucap Ridho dalam hati.
"Hampir satu bulan Om Andri berlarut dalam kesedihan hingga melupakan putri kecilnya yang masih membutuhkannya. Nyokaplah yang ngewarat dia ketika Om Andri sibuk bersedih. Hingga akhirnya Om Andri sadar dan kembali menjalani kehidupan bersama putri kecilnya."
Fauzi terdiam. Ia meraup napas dengan rakus. Ternyata bercerita itu melelahkan.
"Livia tumbuh dengan kasih sayang penuh dari Om Andri. Bahkan Om kerap meninggalkan pekerjaan demi Livia. Livia tumbuh dengan sangat cantik. Saking cantiknya, banyak banget cowok yang suka sama dia."
"Dan gue salah satunya," ucap Ridho kembali masih dalam hati.
"Kelas satu SMP, dia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada pria yang saat itu justru baru lulus SMA. Pria itu Livia temui di rumah gue. Tapi sayangnya, pria yang Livia suka justru mau kuliah ke Amerika."
Mendengar penjelasan Fauzi, justru membawa Ridho ke kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika itu ia tak sengaja bertemu dengan seorang ABG yang baru saja memasuki tingkat SMP. Gadis itu ia temui di rumah Fauzi. Gadis itu sangat cantik dengan rambut yang selalu digerai. Gadis periang yang selalu menawarkan senyuman. Gadis lemah lembut yang selalu menawarkan es krim kepadanya.
Apa mungkin gadis itu Livia? Tapi Livia itu judes dan mudah marah, sangat jauh berbeda dengan Via kecilnya dulu.
"Karena kepergian pria itu, Livia mencoba melupakannya dengan mencoba berpacaran. Dia menjalin hubungan dengan teman sekelasnya. Tapi sayang, ternyata pria itu hanya memanfaatkannya. Pria itu menjadikannya ATM berjalan. Livia yang waktu itu masih polos pun mau-mau aja. Karena uangnya tidak akan habis, pikirnya."
Ridho masih setia bungkam. Ia heran, mengapa Fauzi tahu banyak hal kehidupan Livia.
"Akhirnya gue pulang dari Amerika dan menemukan dia lagi nangis di pinggir jalan dengan baju acak-acakan. Dia nangis dan langsung meluk gue. Dia berkata hampir saja diperkosa. Seketika gue merasa bersalah kepadanya."
Flashback on
"Kamu kenapa?"
"Kak, aku hampir saja diperkosa. Mereka udah cium-cium aku. Mereka mau bayar aku," adu Livia kecil dengan air mata yang bercucuran.
"Kenapa kamu masuk ke tempat ini?"
"Aku diajak Rizki. Katanya di sini tempat enak, tapi kenapa banyak kakek-kakek."
Fauzi ingin sekali tertawa saat itu. Adik kecilnya itu terlalu polos untuk mengerti dunia luar, padahal usianya hampir remaja.
"Terus si Rizkinya ke mana?"
Livia kecil menggelengkan kepalanya.
"Brengsek," umpat Fauzi. Buku-buku jarinya memutih. Ia berjanji akan menghajar Rizki sampai mati.
"Kakak gak boleh ngumpat. Nanti aku bilangin Mamah," tegur Livia kecil.
Fauzi pun akhirnya terkekeh. Adiknya ini masih sempat menegurnya, padahal keadaannya tidak baik-baik saja.
Flashback off
"Sejak hari itu, Livia memutuskan keluar dari rumah. Dulu, dia akrab dipanggil Via, tapi sekarang dia menolaknya. Livia menjadi panggilan akrabnya."
Ridho terdiam. Ia menatap Fauzi yang tengah berbicara dengan serius, sesekali ia tertawa dan berubah sendu. Dapat Ridho lihat betapa sayangnya Fauzi pada Livia.
Jadi, benarkah Livia adalah Via kecilnya?
"Livia tinggal di rumah Bu Siti, baby sitternya sejak bayi. Dia pergi pas kelas dua SMP. Awalnya Om Andri menolak, tapi setelah gue ceritain yang sebenarnya, akhirnya dia setuju.
"Masih banyak pria yang mengejar cinta Livia. Maklumlah Livia itu tambah cantik menginjak remaja. Setidaknya Livia bersyukur, mereka tidak mencintai Livia karena hartanya. Tapi tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Cintanya masih utuh untuk pria yang pergi meninggalkannya."
Fauzi menoleh dan tersenyum pada Ridho yang justru tengah menatap aneh ke arahnya.
"Hingga akhirnya, seseorang hadir dan membuat ia kembali merasakan debaran yang sudah lama tidak ia rasakan. Livia dewasa yang judes dan galak, luluh dengan seorang kurir paket."
"Jadi, Livia adalah Via kecil?"
Fauzi tersenyum dan mengangguk.
"Dia masih sama seperti dulu, Do. Dia masih sayang sama lo, terlepas dari lo yang udah bohongin dia."
"Tapi kenapa lo gak pernah ngomong?" protes Ridho.
"Itu karena lo terlalu larut dengan perasaan lo. Lo itu pinter, tapi kenapa lo bodoh soal percintaan. Saking bodohnya, lo sampe gak mau nelusuri dulu kehidupan Livia yang sebenarnya. Lo terlalu cemburu dan pengecut. Lo memilih mengalah tanpa mau berjuang."
Ridho berdecak dan menyentil halus kening Fauzi. "Karena gue baik. Gue lebih milih kebahagiaan orang yang gue sayang," kilahnya.
"Lo itu terlalu baik, Do. Sekali-kali lo juga harus egois. Livia itu sayang banget sama lo. Dia cuma mau lo berjuang lagi."
"Tapi, dia keliatan gak bahagia sama gue!" Ridho menunduk lesu. Ia bahkan mengusap rambutnya kasar.
"Lo salah. Dia itu bahagia banget sama lo. Gue sebagai kakaknya yang baik hati dan tidak sombong, rajin menabung dan calon suami idaman, mendukung lo sepenuhnya."
Ridho tersenyum. Ia berjanji akan memperjuangkan Livia kembali.
"Good luck, Bro. Gue tunggu kabar baiknya, ya."
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)
RomansaCerita ini akan saya revisi secara bertahap. Mohon maaf apabila alur dirasa tidak nyambung. *** Ridho tidak pernah menyangka, jika pekerjaan yang ia anggap sepele justru membawa dampak besar baginya. Pertemuannya dengan seorang customer judes dan b...