Livia kembali memperhatikan dirinya pada cermin. Dress berwarna peach kesukaannya, rambutnya yang sengaja ia blonde, make up tipis yang semakin menghiasi wajah cantiknya, ditambah sepatu tiga sentimeter berwarna nude yang semakin menambah kecantikannya.
"Ternyata gue emang cantik. Pantes si kurir itu tergila-gila sama gue," puji dirinya sambil terkekeh.
"LIVIA! BURUAN!" teriak dari luar gerbang diriingi suara klakson yang bersahutan.
Livia mendengus. Ia pun mengambil tas slempangnya dan berjalan meninggalkan kamarnya.
"Gak sabaran banget, sih!" gerutu Livia ketika sudah sampai di halaman rumahnya.
Pria di depannya diam membeku dengan mulut yang terbuka sempurna.
"Ma syaa Allah, ngeliat lo kayak gini, bikin gue teringat sama ayat Al-qur'an; Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan," puji Adit.
Pipi Livia bersemu. Adit memang selalu pandai dalam hal memuji perempuan.
"Apaan sih, Dit? Dasar buaya!" ucap Livia akhirnya. Livia dengan segala tingkah gengsinya.
Adit tersenyum geli. "Udah, yu, anak-anak nunggu depan gang."
Livia berdecak. "Ganteng doang, jemput cewek depan gang," ucap Livia sambil naik ke atas motor Adit. Motor beat, tipe-tipe sadboy.
"Udah, Neng?" tanya Adit memastikan. Livia menganggukan kepalanya, Adit pun melajukan motornya keluar dari gang.
Di ujung gang terlihat beberapa motor terparkir di sana. Malam ini mereka akan berangkat bersama-sama menghadiri pesta pernikahan teman angkatan ketika SMA dulu. Kebetulan sekali Adit, Livia dan anak-anak gang sana masuk dalam kelas yang sama.
"Subhanallah, Livia, ayo nikah," ucap Rian yang tengah membonceng seorang perempuan cantik.
"Yan, inget cewek lo di belakang!" sindir Fahri. "Neng Livia mah sama A Fahri aja, ya?"
"Gak usah halu. Gak lihat lo, siapa yang bonceng Neng Livia?" celetuk Adit. Pemuda itu tampak bertambah tampan malam ini. Mungkin karena terbantu lampu pencahayaan di jalan.
"Boncengan belum tentu jadian. Mungkin aja dia butuh tumpangan, ya, gak, Liv?" sindir Fahri---pemuda yang terkenal dengan mulut nyinyirnya.
Livia terkekeh mendengar ucapan Toni. "Betul, Ton."
Adit mendengus mendengar Livia yang malah mengiyakan ucapan Toni.
***
Sebuah hotel berbintang terbesar dan termewah di kota Bandung, dihiasi dekor ala kaum sultan. Pesta itu tampak megah karena menghadirkan sederet artis ibukota dan beberapa tamu undangan dari kalangan pengusaha. Maklum saja, suami dari temannya itu adalah jajaran konglomerat Indonesia.
Lalu lalang orang dengan pakaian yang sederhana tapi dengan harga yang tidak bisa dihitung jari. Seketika Livia bersyukur masih memiliki gaun yang sudah lama ia desain sendiri itu.
"Dit, gue insecure masuk sini," bisik Livia.
"Iya, Liv. Pada akhirnya, gue yang pake kemeja kotak-kotak ke kondangan, akan kalah sama mereka yang pake kemeja biasa tapi bermerk," lirih Adit.
Tiba-tiba Rian datang dan menepuk bahu Adit iba. "Gak papa, Dit. Ini memang bukan wilayah kita. Tapi tanggung euy, lo lihat deh, itu makanan enak banget kayaknya," ucap Rian sambil menunjuk meja yang berisi hidangan yang tampak menggiurkan.
"Astaga, Yan, makanan mulu yang dipikirin," dengus Fahri.
Mereka berlima pun kompak berjalan ke arah meja hidangan. Niat awal ingin bersalaman terlebih dahulu, mendadak pupus karena makanan lebih menggiurkan.
"Subhanallah, kalo pernikahan sultan mah gini, ya. Neng, nanti kalo kita nikah kayak gini juga, ya," ucap Rian sambil melirik ke arah perempuan di sebelahnya.
"Gampang, A, asal ada uangnya aja," jawab perempuan itu.
Adit tertawa meledek. "Lo mau ngasih makan bini lo apa, Yan? Kalo duit lo udah abis pake bikin acara ginian!"
"Heeh sia teh, Yan. Kawin mah nu penting sah. Teu kudu mewah, nu penting sakinah mawadah warohmah," timpal Fahri.
Livia tertawa melihat kelakuan tiga sahabatnya itu yang tidak pernah berubah. Sudah lama Livia tidak menyaksikan perdebatan dan keabsurdan di antara tiga laki-laki itu, rasanya Livia sangat merindukannya. Kesibukannya setelah lulus, membuatnya hampir tidak pernah berkumpul bersama gengnya itu.
"Udah, ih, malu. Ayo, cepet," tegur perempuan yang sedari tadi mengikuti langkah Rian.
"Tuh, denger, Yan. Lo itu malu-maluin!" sindir Adit.
***
Livia melangkahkan kakinya ke pelaminan. Harusnya ia bersama dengan ketiga teman laki-lakinya tadi, tapi karena panggilan alam tidak bisa ditahan, maka terpaksa Livia berjalan sendirian.
"Selamat, ya, Tih. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah. Cepetan kasih gue ponakan yang lucu, ya," tutur Livia diiringi kekehan.
Mempelai wanita yang tampak anggun dengan gaun ungunya itu tersenyum pada Livia. "Makasih, Liv, udah dateng. Gue doain lo cepet nyusul, ya."
Livia tersenyum kecut. Hilal pernikahannya belum muncul sama sekali.
"Selamat ya, Om, akhirnya berhasil nikah juga sama sahabat saya," ucap Livia pada sang mempelai pria.
"Iya, Liv, makasih loh udah hadir. Tapi, masih belum punya gandengan?" ledek si mempelai pria.
Livia mendengus dan mencubit pelan tangan mempelai pria.
Tiba-tiba sebuah kaki berdiri di samping Livia. Kaki itu tampak jenjang dengan celana kain berwarna hitam ditambah dengan kemeja putih yang tampak rapih. Seketika pandangan mereka bertemu. Sorot yang selama ini selalu menatap Livia dengan penuh cinta, kini menatapnya dengan tatapan terkejut. Begitu pula Livia yang masih tidak percaya dengan penglihatannya.
"Cie ... biasa aja kali, Liv, mandangnya, terpesona, ya?" ledek mempelai pria yang diketahui bernama Raffi.
Seketika Livia tersadar dan langsung menatap ke arah Ratih dan Raffi bersamaan.
"Apaan, sih?"
"Nah, kebetulan lo ke sini, Do. Kenalin ini cewek yang gue ceritain tea geuning," ucap Raffi.
Livia tidak berani melihat ekspresi yang ditampilkan oleh pria di sampingnya.
Tiba-tiba pria itu mengulurkan tangannya. "Ridho Atmaja," ucap pria itu terbata.
Dengan tangan yang gemetar Livia memberanikan diri menjabat tangan itu. Pandangan mereka kembali bertemu. Terlihat jelas sorot kesedihan di mata Ridho. Tangan Ridho pun seperti baru keluar dari lemari pendingin.
"Livia Mariska."
Tangan itu masih saling menjabat. Ridho memandang Livia dengan tatapan bersalah. Tapi Livia langsung membuang mukanya. Ia buru-buru melepas jabatan tangan itu.
"Ah, maaf, tangan pengusaha gak mungkin bisa berjabatan lama dengan tangan orang biasa, permisi."
Livia buru-buru turun dari panggung pelaminan itu. Ridho dapat menangkap sorot kekecewaan yang Livia tampilkan. Tubuh itu pun tampak gemetar dengan muka yang sudah memerah menahan amarah.
Baru saja Ridho akan mengejarnya, seseorang menahan tubuhnya.
"Ido, lo mau ke mana?"
Dengan terpaksa Ridho mengurungkan niatnya ketika tahu siapa orang yang menegurnya. Ternyata dia adalah Fauzi---teman kuliahnya dulu. Fauzi menahannya untuk sekedar berbincang dengan Ridho. Maklum saja, hampir tiga tahun mereka tidak pernah bertemu. Tapi pikiran Ridho tidak sepenuhnya ada di tempat itu.
Masih jelas diingatannya ketika Livia pergi dengan punggung yang bergetar dan langsung menarik seorang pria yang sepertinya pernah Ridho lihat beberapa hari lalu.
***
Maaf kalo gak ngefeel🙏 Aku gak pandai buat cerita sedih😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)
RomanceCerita ini akan saya revisi secara bertahap. Mohon maaf apabila alur dirasa tidak nyambung. *** Ridho tidak pernah menyangka, jika pekerjaan yang ia anggap sepele justru membawa dampak besar baginya. Pertemuannya dengan seorang customer judes dan b...