9

2.5K 380 6
                                    

"Assalamu'alaikum."

Livia memutar bola matanya malas. Sungguh bosan ia melihat wajah yang selalu bertamu hampir setiap hari ke rumahnya itu. Ingin sekali ia kembali menutup pintu.

"Wa'alaikumsalam. Ngapain pagi-pagi buta ke sini?"

Pria di hadapannya cemberut. Bibirnya dimajukan layaknya anak bebek yang tengah merajuk.

"Neng mah gimana, sih? Kan udah janji mau quality time hari ini," ucap Ridho sendu.

Livia menghembuskan napasnya kasar. Ia berangsur duduk di kursi teras rumahnya. Ia lupa sudah menjanjikan quality time hari ini. Sebagai upah atas pekerjaannya kemarin, pria itu meminta agar bisa menikmati satu hari bersama Livia. Livia yang memang sudah putus asa, akhirnya mengiyakan begitu saja. Padahal sudah jelas jadwalnya akhir-akhir ini sibuk.

"Maaf, hari ini kerjaan gue bener-bener banyak. Jangankan buat quality time sama lo, gue aja gak tahu kapan gue q-time sama diri sendiri," lirih Livia sambil menunduk.

Ridho yang melihat itu pun memandang iba.

"Maaf, Neng, Aa gak tahu. Aa gak papa kok kalo q-timenya di rumah aja."

Livia mendongak. "Maksudnya?"

"Ya kan Neng lagi sibuk, nanti Aa temenin. Ibu juga lagi gak ada, 'kan?"

Livia menganggukkan kepalanya. "Tapi lo gak kerja hari ini?"

Ridho menggeleng. "Gak, Neng. Cape kerja mulu. Kaya enggak, suram iya," jawab Ridho disertai kekehan.

Livia pun ikut terkekeh mendengar jawaban Ridho. "Lagian lo mah niat kerja biar kaya. Niat kerja tuh buat cari duit untuk bertahan hidup. Lagian apa untungnya kaya kalo hidup kita gak bahagia," ucap Livia sambil beranjak bangkit.

Ridho terdiam. Benar apa yang dikatakan Livia. Harta tidak berarti apa-apa. Harta bukan menjadi penyebab hidup bahagia.

"Lah, malah ngelamun! Ayo, masuk!" ajak Livia. Wanita itu sudah berdiri di depan pintu.

Ridho yang tersadar pun mengangguk dan mengikuti langkah Livia memasuki rumah.

***

Sudah hampir lima jam Ridho duduk di kursi ruang tamu milik Livia. Ridho sudah sangat bosan berkali-kali membuka ponsel yang tidak ada notifikasi sama sekali. Pantatnya sudah terasa panas karena kelamaan duduk. Tapi ia sudah berjanji akan menemani wanita itu bekerja hari ini.

Terlihat Livia yang bulak-balik ke sana ke mari mengambil peralatan yang ketinggalan di kamarnya. Terkadang wanita itu menabrak kursi, dinding, dan barang-barang lain yang ada di depannya.

"Neng kenapa gak sewa kios aja atuh? kan pesenan udah lumayan banyak, di sini kelihatannya sempit," ucap Ridho dengan pandangan yang tak sedikit pun beralih dari Livia.

Livia masih fokus dengan kain di tangannya. "Boro-boro mau sewa kios, buat makan aja gue susah," jawabnya disertai kekehan.

"Loh, saya lihat pesanan tiap hari banyak juga. Ya, kan itu buat modal juga, Neng."

Livia menghentikan kegiatannya dengan kain dan benang. "Gue gak mau jauh dari Ibu. Kalo nanti gue sewa kios depan gang atau di tempat ramai, otomatis Ibu akan sendirian di sini.

Ridho terdiam. "Maaf, Neng, saya gak tahu," lirihnya merasa bersalah.

Livia tersenyum. "Gak papa, santai aja."

Tiba-tiba suara adzan terdengar memasuki indra pendengaran. Mereka pun sama-sama terdiam mendengarkan lantunan panggilan sang Illahi.

"Neng, boleh saya pinjem sarung?"

"Bentar deh, kayaknya masih ada peninggalan almarhum Ayah."

Livia pun bangkit dan masuk ke dalam kamar sang ibu. Setelah beberapa menit kemudian ia kembali ke luar dengan sehelai sarung dan satu buah kopiah di tangannya.

"Nih, sorry cuma ada satu."

"Gak papa, Neng." Ridho berangsur mengambil sarung dan kopiah yang diberikan Livia.

"Kamar mandinya di mana?"

Livia menunjuk ke arah dapur. "Di dapur."

Ridho mengangguk dan berjalan ke arah yang ditunjuk Livia. Livia membereskan alat-alat menjahitnya. Sepertinya ia harus menghentikkan dulu pekerjaannya.

"Salatnya di mana, Neng?"

Livia yang mendengar itu pun berbalik dan betapa terpananya ia melihat pemandangan langka di depannya. Air wudhu yang jatuh mengenai permukaan wajah Ridho membuat Livia terpaku.

"Neng," panggil Ridho sekali lagi.

"E-eh, di kamar gue aja. Soalnya gue gak punya tempat khusus buat salat," ucapnya gugup. Livia merutuki dirinya yang memandang Ridho khilap.

"Ayo, gue anter."

Ridho mengangguk dan mengikuti langkah Livia. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu jati berwarna coklat. Livia mendorong pintu itu. Nampaklah sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Hanya tersedia ranjang dan lemari pakaian di sana. Ada pula sebuah meja berisi alat-alat make up milik Livia.

"Sorry, kamar gue berantakan."

"Gak papa, Neng. Neng gak salat?"

Livia menggeleng. "Enggak."

Ridho mengangguk mengerti. Ia pun mulai mempersiapkan dirinya untuk beribadah.

***

"Wah wangi banget, euy. Masak naon, Neng?"

Hampir saja Livia jantungan mendengar ucapan tiba-tiba seseorang. Livia menoleh dan melihat Ridho yang berkali-kali lebih tampan saat ini. Saat ini mereka seperti pasangan suami istri. Ridho yang memakai sarung dan kopiah, sedangkan Livia yang tengah menghidangkan mie rebus buatannya.

"Mie rebus. Maaf ya, gak ada bahan masakan yang lain," ucap Livia merasa bersalah.

Ridho terkekeh dan berangsur duduk di depan Livia. "Gak papa atuh, Neng. Makasih lo udah mau repot-repot."

Livia memutar bola mata malas. Pria ini selalu saja kepedean.

"Jangan geer. Gue bikin ini karena lapar."

Tanpa menunggu Ridho yang belum mengambil mienya, Livia memakannya terlebih dahulu.

"Neng, pamali. Da di mana-mana ge kudu suami dulu!" protes Ridho.

Tangan Livia terhenti di udara. Entah mengapa Livia menurut kepada Ridho hari ini. Ridho tersenyum sumringah. Ia pun memasukkan mie dan nasi ke dalam mangkok, khas Indonesia sekali.

"Bismillah. Selamat makan, Neng," ucap Ridho.

Livia mengangguk dan melanjutkan kegiatan makanannya yang terhenti. Mereka pun sama-sama makan dalam diam. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring.

"Alhamdulillah, enak euy," puji Ridho.

Livia meneguk habis segelas air di depannya. "Cuma mie, ya gitu rasanya."

"Enggak atuh, Neng, kalo buatan Neng mah dibuatnya pake bumbu cinta," sahut Ridho disertai kekehan.

***

To be continued❤️

Kurir Pengantar Jodoh (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang