Jaebum mengusap pelan tangan Yeji yang masih belum sadarkan diri dari koma. Ini sudah 1 minggu, tapi tidak ada tanda-tanda anaknya membuka mata. Jaebum di liputi rasa khawatir teramat dalam. Kembali terbayang olehnya saat ia melihat mendiang istrinya menghembuskan nafas terakhir. Sama seperti ini. Ia terlalu berharap Jisoo bisa membuka matanya dan menyapanya, tapi semua itu tidak nyata. Justru Jisoo pergi tanpa mengatakan salam perpisahan padanya.
"Aku juga tidak mau Mom meninggal. Jika saat itu aku bisa memilih, aku akan memilih biar aku saja yang mati."
Jaebum genggam jemari putih itu sambil menangis. Ingin rasanya ia merobek mulutnya sendiri karena telah berkata kasar pada Yeji.
"Mianhae." Isaknya dengan suara tertahan.
Sementara itu Jinyoung berdiri di balik pintu melihat Jaebum yang masih setia menjaga Yeji. 1 minggu Yeji disini, 1 minggu pula Jaebum tidak pulang ke rumah. Jinyoung memaklumi itu. Itulah ia sering bolak-balik untuk membawakan pakaian dan makanan untuk Jaebum. Sedangkan pekerjaan Jaebum untuk sementara di gantikan oleh orang kepercayaannya.
.
.Solbin menatap sendu tempat duduk yang dulu adalah milik Yeji. Ia sudah mendengar mengenai Yeji mengalami kecelakaan dan koma sampai sekarang. Ia sangat merasa bersalah. Karena ke-egoisannya, ia membuat teman yang sejak kecil ia kenal celaka seperti ini.
Orang-orang di sekolahpun sudah tidak membahas masalah Yeji lagi. Mereka sudah tahu bahwa kejadian saat itu hanya salah paham antara Solbin dan Yeji. Bahkan mereka meminta Solbin agar mendatangi keluarga Yeji untuk meminta maaf. Beberapa dari mereka mulai membenci Solbin dan meminta agar Solbin keluar saja dari sekolah. Sangat memalukan, pikir mereka.
.
.
.Jinyoung menyusun buku-buku milik Hyunjin yang berserakan di ruang depan. Tadi setelah belajar, anak itu menerima telpon dan buru-buru pergi sehingga tidak sempat menyimpan kembali buku-bukunya. Jinyoung baru saja kembali dari rumah sakit setelah seharian menjaga Yeji dan menemani Jaebum. Setelah selesai membersihkan rumah, Jinyoung bergegas ke dapur memasak makan malam untuk ia bawa ke rumah sakit.
Jinyoung mendengar suara mesin mobil tetapi ia menghiraukannya karena ia berpikir mungkin Paman supir baru kembali dari rumah sakit setelah mengantar dokumen ke perusahaan Jaebum. Ia lanjut memasak namun pikirannya tertuju pada Yeji. Bohong kalau ia tidak khawatir. Ia sudah beberapa kali kehilangan orang yang ia cintai, orang tuanya, teman dekatnya dan ia juga hampir kehilangan anaknya. Sekarang Yeji sedang berjuang melawan maut. Jinyoung meletakkan pisau di atas meja.
Ia menghela nafas berat. Walau Yeji bukan darah dagingnya, tapi rasa sayangnya ke Yeji sudah teramat dalam seperti anak kandungnya. Gadis yang cerewet dan selalu menunjukkan wajah marah itu, Jinyoung sangat merindukannya. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun atas kejadian ini. Ingin menyalahkan Jaebum, ini semua tidak sepenuhnya salah sang suami. Ingin menyalahkan Solbin, Solbin hanya seorang gadis kecil yang tidak ingin kehilangan teman-temannya.
"Ini salahku. Seharusnya aku bisa menghentikan Jaebum Hyung dan Yeji saat itu." Ujar Jinyoung pada dirinya sendiri.
Bersamaan dengan itu seseorang datang memeluknya dari belakang. Ini aroma Jaebum, Jinyoung sudah hafal dengan aroma tubuh sang suami sehingga ia tidak perlu berbalik untuk memastikan.
"Ini bukan salahmu." Bisik Jaebum. Pria itu terlihat sangat kelelahan.
"Hyung, kau pulang? Maaf aku belum menyiapkan makan malam untukmu."
Jaebum mengeratkan pelukannya.
"Aku takut." Ia kembali berucap, ia meletakkan dagunya di pundak Jinyoung. Ia sangat lelah.