Jinyoung dan Jaebum sedang berada di dalam mobil. Jinyoung bisa berakhir di dalam mobil Jaebum karena secara tidak sengaja mereka sama-sama datang ke rumah abu. Sekarang ia tidak tahu kemana Jaebum akan membawanya. Yang jelas ini bukan arah pulang ke rumahnya maupun ke rumah Jaebum. Jujur, berdua dengan Jaebum sering kali membuat jantung Jinyoung berdebar tidak menentu. Sayangnya ia selalu menapik perasaannya bahwa ia berdebar karena ia belum terbiasa dengan Jaebum.
Mobil itu berhenti di depan gereja tua yang letaknya cukup jauh dari pusat kota, bahkan Jinyoung sendiri baru pertama kali ke tempat ini. Jinyoung mulai berpikir yang tidak-tidak. Kenapa Jaebum membawanya kesini? Kenapa harus ke gereja ini? Sebenarnya apa yang pria itu rencanakan?
Jinyoung terlonjak saat pintu mobil di sebelahnya terbuka. Karena asyik melamun, ia tidak sadar bahwa Jaebum sudah lebih dulu keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. Jinyoung keluar dari mobil lalu mengikuti langkah Jaebum memasuki gereja itu.
Mereka duduk di bangku panjang yang letaknya di tengah-tengah. Jinyoung menatap Jaebum yang sedang menatap salip besar di depan sana. Wajah pria itu tampak sedih. Tidak salah lagi, pasti ini ada hubungannya dengan Jisoo. Karena hanya Jisoo yang bisa membuat Jaebum sesedih ini.
"Jisoo sering membawaku kesini." Akhirnya Jaebum membuka suara.
Jinyoung mengangguk paham.
"Setiap pulang sekolah, dia akan mampir kesini dan berdoa agar orang-orang di sekitarnya selalu di beri kesehatan dan kebahagiaan."
"Jisoo selalu seperti itu. Kebahagiaan orang yang dia sayang adalah yang terpenting baginya." Jawab Jinyoung sembari mengingat-ingat kenangannya dulu bersama sang sahabat.
"Terakhir kali aku kesini, sehari sebelum aku kehilangannya. Aku berdoa agar dia dan bayi di kandungannya di beri kesehatan. Tapi Tuhan tidak mendengarkan doaku. Dia mengambilnya dariku. Dia membiarkan putri kecilku menangis tanpa bisa merasakan kehangatan pelukan ibunya. Aku selalu berharap Tuhan mengembalikannya padaku. Tapi Tuhan tetap tidak mendengar doaku."
Jinyoung bisa bayangkan betapa sedihnya Jaebum saat itu. Jaebum yang terlihat angkuh di luar tidaklah seperti yang orang-orang pikirkan. Pria ini juga manusia biasa yang juga bisa merasakan kesedihan. Jinyoung tidak mampu berucap karena ia juga merasakan kesedihan seperti yang Jaebum rasakan.
"Kau sudah menjadi suami yang baik untuknya. Kau merawat anakmu dengan baik dan menepati janjimu padanya. Aku rasa itu sudah cukup membuatnya tenang di sana. Tuhan tidak membenci siapapun. Aku yakin suatu saat nanti dia akan mengabulkan semua keinginanmu."
"Termasuk mengembalikan istriku?"
Jinyoung tersenyum kecil.
"Mungkin Tuhan akan mengirimkan seseorang seperti Jisoo." Jinyoung tidak sadar bahwa ia sedang membicarakan dirinya sendiri
Jaebum menatap Jinyoung dalam. Seseorang seperti Jisoo... Benar, Tuhan sudah mengirimnya seseorang seperti Jisoo. Orang itu kini ada di depannya. Orang yang memiliki hati yang baik, tulus, dan cantik.
"Tuhan sudah mengirim seseorang seperti Jisoo padaku."
"Huh?" Jinyoung terlihat kebingungan.
"Tapi dia tidak bisa mencintaiku seperti Jisoo mencintaiku. Bahkan dia menolakku sebelum aku mengutarakan perasaanku. Dia selalu memalingkan wajah saat aku bicara serius padanya. Dia bisa menerima anakku, tapi dia tidak bisa membuka hatinya untukku."
Jinyoung terdiam. Ia tidak bodoh, jadi ia tahu maksud dari ucapan Jaebum. Kali ini ia tidak bisa memalingkan wajahnya saat Jaebum menatapnya seintens itu. Entah apa alasannya, yang jelas saat ini ia tidak ingin memalingkan wajah dan ingin terus menatap wajah tampan di hadapannya.